Selasa, 14 Juli 2009

ANALISIS PERCAKAPAN PENYIAR DAN PENELPON DALAM PROGRAM CURHAT RADIO KOMUNITAS U-FM DI SURABAYA
PENDAHULUAN
Secara diktomis, Brown dan Yule (1996: 1) membedakan fungsi bahasa menjadi dua, yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional. kedua fungsi tersebut mempunyai rujukan yang sama dengan fungsi representatif dan emotif, atau fungsi ideasional dan fungsi interpersonal, serat fungsi deskriptif dan sosial ekspresif.
Berdasarkan dikotomi Brown dan Yule tersebut, kemudian dikenal bahasa transaksional dan bahasa interaksional. bahasa transaksional digunakan untuk menyampaikan informasi faktual atau proposional, sedangkan bahasa interaksional digunakan untuk memantapkan dan memelihara hubungan-hubungan sosial (Brown dan Yule, 1996: 3).
Para linguis dan ahli filsafat bahasa pada umumnya memberikan perhatian khusus pada penggunaan bahasa unutk menyampaikan informasi faktual atau proposional. sedangkan para ahli sosiologi dan sosiolinguistik memberi perhatian pada penggunaan bahasa sehari-hari untuk membentuk dan memelihara hubungan sosial. ketertarikan masing-masing kelompok pada fungsi tertentu dari bahasa tersebut mempunyai dasar pemikiran tersendiri. kelompok pertama berpandangan bahwa bahasa memang sangat mungkin dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, tetapi fungsi yang paling penting adalah untuk menyampaikan informasi. untuk itu pembicara perlu menyampaikan informasi secara efektif, menyatakan informasi secara jelas (Brown dan Yule, 1996: 2).
Sementara itu, kelompok kedua berpandangan bahwa sebagian besar interaksi manusia sehari-hari ditandai dengan pemakaian bahasa yang utama secara interpersonal dan bukan transaksional (Brown dan Yule, 1996: 3). Dijk (dalam Jamal, 2001: 2) lebih lanjut mengemukakan bahwa ketertarikan ahli sosiologi dan sosiolinguistik pada bahasa interaksional disebabkan oleh beberapa faktor berikut 1) percakapan sehari-hari dilakukan orang setiap waktu, 2) secara tersirat orang menggunakan metode tahu sama tahu terhadap pengetahuan sosial, padahal bisa saja mereka mendapatkan masalah, 3) nosi pemahaman penafsiran dan penciptaan pengertian memegang peranan penting dan berkaitan dengan gagasan hakikat realitas sosial pada umumnya dari percakapan sehari-hari khususnya.

Rumusan Masalah
1. Apa sajakah topic percakapan ……..?
2. Bagaimanakah struktur percakapan ………...?
3. Bagaimanakah strategi kesantunan yang digunakan oleh ………..?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan topic percakapan ……..
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur percakapan dalam percakapan ……..
3. mendeskripsikan dan menjelaskan strategi kesantunan yang digunakan oleh ………

Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis pada penelitian ini adalah diharapkan untuk memeberi sumbangan pada bidang analisis wacana dan pragmatik, yang khususnya berkaitan dengan karakteristik percakapan …….. dilihat dari aspek topik, struktur percakapan, dan strategi kesantunan.
b. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberi masukan bagi penutur atau pemakai bahasa Indonesia dalam melakukan percakapan dalam berkomunkasi. Disamping itu, diharapkan hasil dari penelitian ini bisa diharapkan menjadi tambahan wawasan untuk peneliti lain dalam mengembangkan permaslahan analisis percakapan.

Batasan Istilah
1. Percakapan adalah interaksi antarindividu dalam masyarakat secara timbal balik yang dinyatakan dengan pertukaran dalam pemakaian bahasa.
2. Topik percakapan adalah suatu hal yang dibicarakan dan dikembangkan leh partisipan sehingga membentuk suatu wacana percakapan.
3. Struktur percakapan adalah suatu susunan pasangan ujar terdekat dalam suatu segmen percakapan.
4. Strategi kesantunan adalah cara yang dipilih oleh penutur untuk menghindari tindak tutur yang mengancam muka.


KAJIAN PUSTAKA
Penelitian Sebelumnya
Penelitian tentang analisis percakapan ini pernah dilakukan oleh Tannen dan Cynthia Wallat (1986), Wynn (1995), dan Robert (1996).
Tannen dan Wallat mengkaji percakapan antara petugas medis dengan lima keluarga pada kasus penyakit anak. Percakapan tersebut direkam dengan menggunakan video kaset. Berdasarkan analisis terhadap rekaman percakapan tersebut ditemukan bahwa (1) informasi dinegosiasikan dan ditemukan selama wawancara medis berlangsung. (2) pertukaran informasi sering kurang memadai dibandingkan skema kognitif yang telah dimiliki oleh partisipan selama interaksi berlamngsung.
Penelitian Wynn menggunakan dua pendektan yaitu pendekatan analisis percakapan dan pendekatan medis. Pendekatan medis diterapkan dalam penelitiannya karena selain seorang linguis, Wynn juga seorang dokter. Penelitian Robert mengambil subjek percakapan dokter dengan pasien penderita kangker payudara. Penelitian difokuskan pada rekomendasi yang diberikan oleh dokter pada pasien ketika mereka melakukan kunjungan untuk perawatan.

ANALISIS PERCAKAPAN
Pengertian

Analisis percakapan adalah analisis yang sistematis tentang peristiwa berbicara yang dihasilkan dalam setiap situasi interaksi percakapan (talk-in-interaction). Analisis percakapan adalah kajian rekaman tentang percakapan dalam interaksi yang terjadi secara alamiah. Pada prinsipnya, analisis percakapan bertujuan untuk menemukan cara-cara partisipan mengerti dan menanggapi penuturan antara partisipan yang satu dengan yang lain dalam suatu giliran berbicara, dengan menitikberatkan pada urutan perilaku. Hal itu berarti analisis percakapan dapat menemukan langkah-langkah yang tidak dapat diduga sebelumnya dan kompetensi sosiolinguistik yang mendasari produksi dan interpretasi percakapan yang urutan interaksinya teratur (Hutchby dan Wooffitt, 1998).

Analisis percakapan adalah sebuah permulaan yang radikal dari bentuk-bentuk analisis yang diorientasikan secara linguistik pada produksi tuturan dan khususnya perolehan pengertian yang tidak hanya dilihat pada struktur bahasa tetapi yang pertama dan utama adalah sebagai sebuah penyelesaian sosial yang praktis. Hal itu berarti kata-kata yang digunakan pada saat berbicara tidak dikaji sebagai kesatuan-kesatuan semantik, tetapi sebagai hasil atau tujuan yang dibentuk dan digunakan dalam batasan aktivitas-aktivitas perundingan dalam berbicara, seperti salam, sapaan, keluhan, dan sebagainya.

Dengan percakapan, penutur menunjukkan urutan-urutan berikutnya dari sebuah pemahaman yang dibicarakan sebelumnya. Hal itu akan dapat menunjukkan hal-hal utama yang dikehendaki ataupun tidak dikehendaki oleh penutur. Langkah-langkah tersebut disebut sebagai langkah-langkah pembuktian giliran berikutnya (next-turn proof procedure). Langkah-langkah tersebut menjadi alat dasar dalam analisis percakapan untuk menjamin bahwa analisis benar-benar didasarkan pada kelengkapan percakapan sebagai orientasi partisipan dalam menyelesaikan percakapannya, bukan semata-mata didasarkan pada asumsi analis.

Urutan-urutan tuturan dalam sebuah percakapan akan memberikan kepastian informasi yang dikehendaki oleh partisipan dengan adanya pasangan tuturan yang berdekatan (adjacency pair). Pasangan tuturan yang berdekatan ini akan mempertegas langkah-langkah pembuktian terhadap cara-cara partisipan memahami dan membuat pengertian tentang tuturan yang ada. Langkah-langkah pembuktian itu didasarkan pada tiga hal penting tentang peristiwa percakapan. Pertama, tuturan dapat dipandang sebagai tujuan penutur untuk menggunakannya bagi penyelesaian sesuatu yang khusus dalam berinteraksi dengan yang lain daripada hanya sekedar mendengar. Kedua, tuturan terjadi dalam konteks khusus yang memerlukan jawaban-jawaban metodis. Karakteristik metodis berbicara selalu ditujukan pada detail-detail interaksi dan konteks urutan dalam percakapan yang dihasilkan yang biasa disebut dengan tindak tutur. Ketiga, analisis percakapan merupakan sebuah metode ilmiah sosial. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa suatu percakapan dalam interaksi terdiri atas hubungan sebab-akibat yang menggunakan variabel-variabel linguistik yang dipengaruhi oleh variabel-variabel sosial (Hutchby dan Wooffitt, 1998:21).







Dasar-Dasar Analisis Percakapan

Interaksi merupakan suatu tujuan utama dalam penelitian sebuah percakapan. Hal itu didasarkan pada asumsi bahwa interaksi dalam percakapan mampu menggambarkan hubungan sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian percakapan tidak dapat terlepas dari unit-unit aktivitas sosial. Dalam unit-unit aktivitas sosial itu, keterlibatan penutur dan petutur dalam sebuah percakapan akan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Nilai-nilai dan norma-norma itu diperoleh melalui proses pelembagaan yang dilakukan oleh lingkungan tempat penutur dan petutur melakukan aktivitas percakapan. Nilai-nilai dan norma-norma itu membawa konsekuensi bagi penutur dan petutur untuk melakukan proses-proses produksi linguistik yang diwujudkan dalam performansi bahasa tertentu, misalnya pemilihan kata, jeda percakapan, pengambilalihan giliran, dan pilihan bentuk-bentuk metalingistik. Dengan demikian, percakapan tidak hanya sekedar memproduksi tuturan yang mengacu kepada rangkaian kalimat, tetapi terdapat proses internal untuk dapat menggunakan rangkaian kalimat itu dalam sebuah tuturan yang sesuai. Sadtono (1987:149) menyebut tuturan yang sesuai itu dengan istilah “empan-papan bahasa” (language appropriateness).
Sadtono, E. 1987. Antologi Pengajaran bahasa asing Khususnya Bahasa Inggris. Jakarta: Depdikbud

Sebagai sebuah proses yang bersifat internal, maka tuturan yang dihasilkan dalam suatu percakapan merupakan (1) hasil dari perkembangan perasaan, hasrat, dan kebutuhan, sehingga perasaan, hasrat, dan kebutuhan tersebut mendorong seseorang untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain, (2) proses pengubahan pikiran ke dalam bentuk bahasa, (3) penggunaan suara-suara, kata-kata, dan bentuk-bentuk yang disimpan ke dalam jaringan kognitif internal, (4) kompetensi penutur untuk ikut mengambil peran, dan (5) performansi bahasa penutur dan petutur untuk saling mendengarkan hasil tuturan yang diwujudkan dalam perilaku. Dengan demikian, tuturan adalah suatu proses sosial yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan kognitif. Faktor-faktor itu diwujudkan ke dalam kekuatan pendorong pikiran, isi tuturan, pengetahuan sistem bahasa, keaslian pikiran, arah yang diambil, situasi yang dituturkan, dan orang-orang yang diajak bertutur (Chastain, 1976:332).

Agar faktor-faktor sosial dan kognitif tersebut dapat bekerja dengan maksimal, maka diperlukan empat tipe modal yang menonjol dan saling berkaitan. Tipe modal pertama adalah tipe afektif dan emosional. Hal itu mengandung arti bahwa percakapan mempunyai fungsi inti untuk menyampaikan dan mendistribusikan kegembiraan dan orientasi positif dan negatif antarpartisipan. Tipe modal kedua adalah berbagi informasi. Hal itu mengandung arti bahwa percakapan mempunyai fungsi inti untuk menyampaikan informasi dalam sebuah komunikasi antara dua orang atau lebih. Berbagi informasi adalah memasukkan tambahan pengetahuan yang tidak terbatas dan melanjutkan upaya perluasan asosiasi yang sangat khusus. Tipe modal ketiga adalah resolusi yang difokuskan ke arah tujuan pernyataan atau pengakuan. Tujuan pernyataan atau pengakuan mensyaratkan adanya sejumlah reorganisasi sudut pandang dan sejumlah akomodasi dari masing-masing partisipan agar sampai pada suatu kesepakatan. Poses resolusi itu mencakup kesepakatan, konflik, debat, diskusi, dan sebuah integrasi ekspresi ide-ide yang muncul pada saat terjadinya pertukaran informasi. Tipe modal keempat adalah interaksi ramah tamah yang mencakup keramahtamahan yang diperbolehkan, pertimbangan-pertimbangan, kepedulian, dan kespontanitasan. Kontak keramahtamahan ini menetapkan adanya suatu kepedulian yang dilanjutkan pada hubungan antarpartisipan dan pengembangan penyebaran informasi. Informasi dipindahkan ke dalam suatu unit-unit verbal. Berdasarkan unit-unit verbal itu, kepadatan informasi, efisiensi waktu, dan keberhasilan akumulasi elemen-elemen percakapan dapat diidentifikasi. Dalam proses pemindahan informasi itu akan didapatkan bukti-bukti fasilitasi dan gangguan interaksi yang eksplisit. Semua itu terjadi secara terorganisasi dan terstruktur. Hal itu sebagai akibat dari adanya proses logika dan tangapan antarpartisipan yang kompleks. Oleh karena itu, penelitian percakapan mensyaratkan adanya teknik yang beragam dan pendekatan teoretis yang sesuai dengan data yang akan dianalisis (Allen dan Guy, 1978:34).

Ada dikotomi dalam analisis proses interaksi yang dicetuskan oleh Bales (dalam Allen dan Guys, 1978:37) yang terdiri dari enam proses. Enam proses itu dibagi menjadi dua tipe. Tipe pertama disebut oposisi fungsional (fungsional oppossition) yang mencakup komponen sosial emosional dan tipe kedua disebut oposisi direksional (directional oppossition) yang mencakup tugas performansi. Oposisi fungsional terdiri dari keramahtamahan, dramatisasi, dan kesepakatan. Oposisi direksional terdiri dari pemberian sugesti, pemberian opini, dan pemberian informasi.


Topik Percakapan

Berkaitan dengan pengertian topik, Rani dkk, (2004: 144) menyatakan bahwa topik merupakan bagian yang difokuskan dan yang diterangkan oleh bagian lain (komentar). Dalam konteks wacana, topik merupakan suatu ide atau hal yang dibicarakan dan dikembangkan sehingga membentuk suatu wacana. Pendapat lain dikemukakan oleh Alwi (2000: 435) yang menjelaskan bahwa topik merupakan proposisi yang berwujud frasa atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Dalam percakapan, pembicara dapat berbicara tentang sebuah topik, masing-masing berbicara tentang tpiknya sendiri, atau mereka sama-sama berbicara topik yang sama.
Topik merupakan pokok permasalahan yang muncul dalam setiap percakapan. Berbagai macam topik percakapan menjadi bahan percakapan. Bahkan dalam satu peristiwa percakapan bisa muncul dua atau lebih topik percakapan. Seperti yang terjadi dalam percakapan mahasiswa pondokan dalam situasi yang tidak resmi. Topik tersebut dapat berganti-ganti sesuai dengan keinginan para penuturnya. Tidak ada batasan yang ditentukan dalam kegiatan percakapan mahasiswa pondokan tadi. Mereka tidak pernah memfokuskan topik pembicaraan.
Ketika terjadi pergantian topik-topik percakapan, terdapat struktur pertukaran percakapan yang harus diperhatikan. Dalam setiap pertukaran percakapan akan diawali oleh pemicu atau inisiasi. Inisiasi tersebut berfungsi sebagai pembuka interaksi. Kemudian, inisiasi tersebut akan diikuti oleh sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut merupakan respons dari mitra tutur dalam percakapan. Dari tanggapan itu akan diikuti juga oleh sebuah balikan yang bersifat manasuka. Alih tutur juga merupakan bagian dari sebuah percakapan, meliputi bagaimana cara mengambil alih giliran bicara dan bagaimana cara memberikan giliran bicara.

Topik merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam percakapan. Howe (1983: 5) mengatakan bahwa topik merupakan syarat terbentuknya wacana percakapan. Analisis topik dalam wacana tidak cukup dengan menganalisis sebuah kalimat. Topik itu dapat dididentifikasi bila analisis wacana memahami konteks wacana yang mendukungnya.
Menurut Brown dan Yule (1983: 69), unutk menganalisis topik wacana diperlukan suatu penggal wacana secara utuh. Yang menjadi masalah adalah bagaimanakah penganalisis memutuskan apa yang telah diambil itu merupakan satuan yang memuaskan untuk dianalisis. Penentuan kapan penggalan wacana itu dimulai dan diakhiri merupakan suatu hal yang rumit. Memang ada ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menandai permulaan suatu wacana yang utuh. Akan tetapi, penutur-penutur sering kali tidak memberikan petunjuk-petunjuk yang begitu jelas untuk membantu penganalisis memlih potongan-potongan wacana yang dipelajari. Unutk itu penentuan penggalan wacana lebih banyak ditentukan oleh intuisi.

Beehubungan dengan topik percakapan, Syamsudin (1992: 55) membedakan adanya dua topik dalam percakapan. Pertama, topik umum, yaitu pokok pangkal pembicaraan yang berperan sebagai judul atau tema. Topik ini mengaarahkan seluruh percakapan sehingga tujuan percakapan tercapai. Kedua, topik-topik kecil yaitu aspek-aspek tertentu yang timbul dalam rangkaian keseluruhan percakapan. Kadang-kadang topik-topik itu berubah-ubah dan meloncat-loncat seirama dengan situasi percakapan.

Struktur Percakapan

Salah satu asumsi analisis percakapan adalah bahwa interaksi dalam suatu percakapan diorganisasikan secara struktural (Sciffrin, 1994: 236). Struktur organisasi suatu percakapan berkaitan erat dengan pasangan ujar terdekat. Pasangan ujar terdekat merupakan urutan dua ujaran yang dihasilkan oleh penutur-penutur yang berbeda. Bagian ujaran yan pertama memunculkan bagian yang kedua. Misalnya pada pasangan ujaran: panggilan-jawaban. Deringan telepon misalnya merupakan suatu panggilan. Panggilan tersebut membuka kondisi yang relevan bagi bagian yang kedua yaitu suatu jawaban. Lebih lanjut Schiffin menyatakan bahwa pasangan ujar terdekat merupakan suatu pola organisasi yang tetap, tindakan-tindakan yang menyiapkan dan merefleksikan urutan dalam suatu percakapan. Pasangan ujar terdekat dapat ditemukan dengan mencari pola-pola yang berulang, distribusi-distribusi, dan bentuk-bentuk organisasi dari suatu percakapan yang luas.

Menurut Richards dan Schmidt (1984: 127), identifikasi terhadap pasangan ujar terdekat merupakan masalah pokok dalam analisis percakapan. Dengan mengidentifikasi pola-pola urutan yang diterapkan pada ujaran-ujaran dalam interaksi tersebut, dapat diketahui koherensi suatu percakapan. Oleh Richards dan Schimdt, pasangan ujaran terdekat diartikan sebagai ujaran-ujaran yang dihasilkan oleh dua orang penutur yang berurutan, ujaran kedua diidentifikasi mempunyai hubungan dan merupakan tindak lanjut dari ujaran pertama.

Dalam pasangan ujar terdekat, ujaran kedua sebagai tanggapan atau respon dari ujaran pertama dapat dibagi menjadu dua bagian, yaitu ujaran yang disukai dan ujaran yang tidak disukai (Levinson, 1983: 336). Ujaran yang berisi permintaan misalnya, dapat memunculkan respon yang dikabulkan atau ditolak. Pengkabulan merupakan respon yang disukai sementara penolakan adalah respon yang tidak disukai. Misalnya pada ujaran:

A:
B:
C:

Bagi A, jawaban B lebih diharapkan daripada jawaban C. Jawaban B perupakan pengabulan, sementara jawaban C merupakan bentuk penolakan.

Kesantunan Berbahasa
Pengertian Kesantunan

Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingg kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".

Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagia masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

Jenis Kesantunan

Berdasarkan butir terakhir itu, kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunn itu.

Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (transparan), menampakkan bagian badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang. Betapapun mahalnya pakaian renang, tidak akan sesuai apabila dipakai dalam suatu acara resmi.

Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu.misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Mmasing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan tindakan, misalnya tidaklah santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan "jigrang" ketika mengikuti kuliah dosen,bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, nyelonong ke loket ketika yang lain sedang antre menanti giliran, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum.

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tida sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.

1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik keika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

Tatacara berbahasa seseorang diengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.

Pembentukan Kesantunan Berbahasa

Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.

Pertama, penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain' dan (bersmaan dengan itu) meminimalkan hal-hal tersebut pad diri sendiri.

Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnay, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang todak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.

Berkut ini contoh yang memperlihatkan bahwa si A mengikuti prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian kepada temannya yang baru saja lulus magister dengan predikat cumlaud dan tepat waktu, tetapi si B tidak mengikuti prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat atau rasa hebat pada diri sendiri.

A : Selamat, Anda lulus dengan predikat maksimal!
B : Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaud.

Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazimditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata "kotor" daqn "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupaka kalimat yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oelh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan berlangsung.

- Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak!
- Mohon izin, Bu, saya ingin kencing!

Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Contoh kalimat mahasiswa yang tergolong tabu di atas akan menjadi ungkapan santun apabila diubah dengan penggunaan eufemisme, misalnya sebagai berikut.

- Pak, mohon izin sebentar, sya mau buang air besar.
Atau, yang lebih halus lagi:
- Pak,mohon izin sebentar, saya mau ke kamar kecil.
Atau, yang peling halus:
- Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke belakang.

Yang perlu diingat adalah, eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, penggunaan eufemisme dengan menutupi kenyataan yang ada, yang sering dikatakan pejabat. Kata "miskin" diganti dengan "prasejahtera", "kelaparan" diganti dengan "busung lapar", "penyelewengan" diganti "kesalahan prosedur, "ditahan" diganti "dirumahkan", dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan publik. Kebohongan itu termasuk bagian dari ktidaksantunan berbahasa.

Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbcara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.

Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/bu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.

(1) Engkau mau ke mana?
(2) Saudara mau ke mana?
(3) Anda amau ke mana?
(4) Bapak mau ke mana?

Dalam konteks ini, kalimat (1) dan (2) tidak atau kurang sopan diucapkanoleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (4)-lah yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat (3) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat (4).

Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur. Percakapan via telepon antara mahasiswi dan istri dosen berikut merupakan contoh kekurangsopanan.

Mahasiswi : Halo, ini rumah Supomo, ya?
Istri : Betul.
Mahasiswi : Ini adiknya, ya?
Istri : Bukan, istrinya. Ini siapa?
Mahasiswi : Mahasiswinya. Dia kan dosen pembimbing saya. Sudah janjian dengan saya di kapus. Kok saya tunggu-tunggu tidak ada.
Istri : Oh, begitu, toh.
Mahasiswi : Ya, sudah, kalau begitu.
(Telepon langsung ditutup.)

Istri dosen tersebut menganggap bahwa mahasiswa yang baru saja bertelepon itu tidak sopan, hanya karena si mahasiswa tidak mengikuti norma kesantunan berbahasa, yaitu tidak menggunakan kata sapaan ketika menyebut nama dosennya. Bahasa mahasiswa seperti itu bisa saja tepat di masyarakat penutur bahasa lain, tetapi di masyarakat penutur bahasa Indonesia dinilai kurang (bahkan tidak) santun. Oleh karena itu, pantas saja kalau istri dosen tersebut muncul rasa jengkel setelah menerima telepon mahasiswi itu. Ditambah lagi tatacara bertelepon mahasiswi yang juga tidak mengikuti tatakram, yaitu tidak menunjukkan identitas atau nama sebelumnya dan diakhiri tanpa ucapan penutup terima kasih atau salam.

Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, oemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia kaena terbawa oleh budaya "tidak terus terang" dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburka komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya.

Aspek-aspek Non-linguistik yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa

Karena tatacara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai sistem komunikasi,maka selain unsur-unsur verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur paralinguistik, kinetik, dan proksemika. Pemerhatian unsur-unsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa.

Paralinguistik berkenaan dengan viri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa. Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara dengan temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang sopan, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya.

Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Misalnya, seorang anak diajak ibunya ke dokter, ia menjawab "Tidak, tidak mau" (verbal) sambil menggeleng-gelengkan kepala (kinesik). Akan tetapi, apabila penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur verbal itu, yaitu menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang sebagai pengganti ucapan "Hai, ayo cepat ke sini!".

Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan, cukup dengan mengerdipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan jari telunjuk secara vertikal di depan mulut agar anaknya (penerima tanda) segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah Jumat berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan kinetik ini. Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinetik atau gerak isyarat (gesture) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kesantunan berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk menciptakan ketidaksantunan berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara dengan tamunya dianggap kurang santun.

Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah proksemika, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan bwerkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan bernagkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil bwrjabat tangan dengan kedua tangannya. Si mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang bersangkuan.

Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertikarkan,maka akan terlihat janggal, bahkan dinilai tidak sopan. Mamsih banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemika ini, misalnya sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi duduk ketika berbicara dengan pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan ketika berbicara di hadapan anak buahnya, dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinetik, dan prolsemika yang sesuai dengan situasi komunikasi deperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa. Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks situasi. Yang penting, bagaimana ketiga unsur bisa menciptakan situasi komunikasi yang tidak menimbulkan salah paham dan ketersinggungan kepada yang diajak berkomunikasi.

Selain ketiga unsur di atas, hal lain yang perlu diusahakan adalah penjagaan suasana atau situasi komunikasi oleh peserta yang terlibat. Mialnya, sewaktu ada acara yang memerlukan pembahasan bersama secara serius, tidaklah sopan menggunakan telepon genggam (handphone) atau menerima telepon dari luar, apalagi dengan suara keras. Kalau terpaka menggunakan atau menerima telepon, sebaiknya menjauh dari acara tersebut atau suara diperkecil.

Kecenderungan mendominasi pembicaraan, berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika ada pertmuan dalam forum resmi, melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan pembicara, tertawa kecil atau sinis merupakan sebagian cara yang tidak menjaga suasana komunikasi yang kondusif, tenteram, dan mengenakkan, yang bisa berakibat mengganggu tujuan komunikasi.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini akan dideskripsikan fenomena-fenomena penggunaan bahasa yang muncul dalam percakapan …….. Fenomena yang menjadi fokus penelitian ini adalah topik percakapan, struktur percakapan, dan strategi kesantunan berbahasa.

Data dan Sumber Data
Data penelitian ini adalah satuan-satuan percakapan antara …………………. di Surabaya yang dipilah-pilah lagi oleh peneliti dan juga menjadi fokus pada penelitian ini adalah (1) topik percakapan, (2) Struktur percakapan, (3) strategi kesantunan berbahasa.

Sumber data penelitian ini adalah ……….. yang menyiarkan program …….

Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak dengan teknik rekam. Alat perekam yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah telepon genggam yang difasilitasi alat perekam. Teknik ini digunakan untuk pengumpulan data berupa percakapan …………

Unutk merekam data tersebut, peneliti menggunakan satu buah telepon genggam merek Sony Ericsson tipe W200i yang dilengkapi dengan fasilitas alat perekam suara dengan kapasitas rekam sesuai dengan kapasitas memori m2. Diharapkan dengan penggunaan alat perekam tersebut dapat memudahkan peneliti dalam proses pengumpulan data dikarenakan tidak serumit tape-recorder yang menggunakan kaset sebagai tambahan alat untuk merekam.

Metode Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengkerucutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Selanjutnya akan dilakukan analisis dan interpretasi secara utuh dan menyeluruh mengarah ke fokus permasalahan yang dilakukan secara induktif.

Dengan menggunakan metode tersebut akan dideskripsikan dan dijelaskan secara detil fenomena-fenomena yang menjadi fokus penelitian. Adapun langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah:

1. Memilih rekaman percakapan yang mempunyai kualitas yang jelas.
2. Mendengarkan secara teliti dan berulang-ulang percakapan yang diteliti
3. Mentranskripsi percakapan
4. Melakukan pengkodean data
5. Melakukan segmentasi-segmentasi pada bagian-bagian tertentu sesuai dengan fokus penelitian
6. Melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap fenomena-fenomena yang ditemukan
7. Melakukan interpretasi dan penarikan simpulan

2. Pengodean Data
Pengodean data dalam penelitian ini akan menggunakan pedoman sebagai berikut

R.1.1.001

R = Sumber data: Radio Komunitas U-fm
1(1) = nomor urut data rekaman
1(2) = nomor urut penelpon
001 = nomor urut ujaran

3. Segmentasi Data
Segmentasi merupakan langkah dalam menganalisis teks sebagai rekaman verbal suatu tindak komunikasi dengan melakukan pemenggalan-pemenggalan pada bagian tertentu. Dalam penelitian ini, percakapan disegmentasikan berdasarkan partisipan dan topik percakapan terlebih dahulu. Kemudian pada penggalan percakapan yang telah dibatasi oleh topik-topik tertentu tersebut disegmentasikan kembali berdasarkan pasangan ujar terdekat. Berdasarkan hasil segmentasi yang kedua ini dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan struktur percakapan dan strategi kesantunan yang digunakan oleh partisipan.

4. Interpretasi dan Penarikan Simpulan

Peneliti berusaha mengidentifikasi daya pragmatik sebuah tuturan dengan merumuskan hipotesis-hipotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan data-data yang tersedia. Bila hipotesis tidak teruji maka akan dibuat hipotesis yang baru. Seluruh proses ini terus berulang sampai akhirnya tercapai suatu pemecahan.



Daftar pustaka

Allen, Donald E & Rebecca F. Guy. 1974. Conversational Analysis: The Sociology of Talk. Paris: Mouton

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana.Penerjemah I. Soetikno. Jakarta: PT. Gramedia

Edward, John. 1985. language, Society, anda Identity. New York: Basil Blackwell.

Goody, Esther N (Ed.). 1985. Questions and Politiness: Strategy in Social Interaction. Cambridge.

Gordon, George N. 1969. The Languages of Communication. New York: Hasting House.

Hutchby, I., Wooffitt, R., 1998, Conversation Analysis, Cambridge, UK: Polity Press

Leech, Geoffery. 1993. Prinsip-prinsi Pragmatik. Penerjemah M.D.D. Oka. Jakarta: UI Press.

Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Salam, H Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Silzen, Peter. 1990. "Bahasa sebagai Ungkapan Perasaan". Makalah. Depok: Fakultas Sastra UI.

Syamsudin. 1992. Studi Wacana Teori Analisis Pengajaran. Bandung: Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.

Wardhaugh, Renold. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar