Rabu, 22 Juli 2009

A. Pengertian emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :

a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. h. malu : malu hati, kesal

Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
B. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Sedangkan prestasi belajar adalah hasil belajar dari suatu aktivitas belajar yang dilakukan berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan belajar dalam bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka dalam rapor.
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (1997) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Menurut Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.
Sedangkan menurut Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali individu tidak mampu menangani masalah–masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.
Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999) bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
C. Faktor Kecerdasan Emosional

Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
1. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

2. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

3. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

4. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

5. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.

D. Perbandingan diantara IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient)

Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa .
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja (Goleman, 2002 : 17).
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Pada penelitian ini, penulis mengunakan sampel pada SMU Lab School Jakarta Timur, yang berada pada peringkat 16 se-DKI, berdasarkan nilai rata-rata nilai ulangan umum murni cawu 2 kelas II tahun ajaran 2001/2002.
Dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah satu faktor penting untuk meraih prestasi akademik, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti :”Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II SMU Lab School Jakarta Timur”.

E. Tahap-tahap Perkembangan Peserta Didik

Perkembangan kemampuan peserta didik sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya baik dalam aspek kognitif maupun aspek non-kognitif melalui tahap-tahap sebagai berikut.
1. Perkembangan kemampuan peserta didik usia sampai 5 tahun (TK). Pada usia ini, anak (peserta didik) berada dalam periode “praoperasional” yang dalam menyelesaikan persoalan, ditempuh melalui tindakan nyata dengan jalan memanipulasi benda atau obyek yang bersangkutan. Peserta didik belum mampu menyelesaikan persoalan melalui cara berpikir logik sistematik. Kemampuan mengolah informasi dari lingkungan belum cukup tinggi untuk dapat menghasilkan transformasi yang tepat. Demikian juga perkembangan moral peserta didik masih berada pada tingkatan moralitas yang baku. Peserta didik belum sampai pada pemilihan kaidah moral sendiri secara nalar. Perkembangan nilai dan sikap sangat diperngaruhi oleh situasi yang berlaku dalam keluarga. Nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga akan diadopsi oleh peserta didik melalui proses imitasi dan identifikasi. Keterkaitan peserta didik dengan suasana dan lingkungan keluarga sangat besar.
2. Perkembangan kemampuan peserta didik usia 6-12 tahun (SD). Pada usia ini peserta didik dalam periode operasional konkrit yang dalam menyelesaikan masalah sudah mulai ditempuh dengan berpikir, tidak lagi terlalu terikat pada keadaan nyata. Kemampuan mengolah informasi lingkungan sudah berkembang sehingga transformasi yang dihasilkan sudah lebih sesuai dengan kenyataan. Demikian juga perkembangan moral anak sudah mulai beralih pada tingkatan moralitas yang fleksibel dalam rangka menuju ke arah pemilihan kaidah moral sendiri secara nalar. Perkembangan moral peserta didik masa ini sangat dipengaruhi oleh kematangan intelektual dan interaksi dengan lingkungannya. Dorongan untuk keluar dari lingkungan rumah dan masuk ke dalam kelompok sebaya mulai nampak dan semakin berkembang. Pertumbuhan fisik mendorong peserta didik untuk memasuki permainan yang membutuhkan otot kuat.
3. Perkembangan kemampuan peserta didik usia 13-15 tahun (SLTP). Pada usia ini peserta didik memasuki masa remaja, periode formal operasional yang dalam perkembangan cara berpikir mulai meningkat ke taraf lebih tinggi, absrak dan rumit. Cara berpikir yang bersifat rasional, sistematik dan ekploratif mulai berkembang pada tahap ini. Kecenderungan berpikir mereka mulai terarah pada hal-hal yang bersifat hipotesis, pada masa yang akan datang, dan pada hal-hal yang bersifat abstrak. Kemampuan mengolah informasi dari lingkungan sudah semakin berkembang.

F. Peranan Guru Dalam Mengembangkan Potensi Peserta Didik

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat (2) menyebutkan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Sedangkan dalam pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Bagaimana hal ini dapat diwujudkan pada suasana pembelajaran yang dapat dinikmati oleh peserta didik? Jawabannya adalah pembelajaran menggunakan pendekatan kompetensi, antara lain dalam proses pembelajaran guru :
1. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bermain dan berkreativitas,
2. Memberi suasana aman dan bebas secara psikologis,
3. Disiplin yang tidak kaku, peserta didik boleh mempunyai gagasan sendiri dan dapat berpartisipasi secara aktif
4. Memberi kebebasan berpikir kreatif dan partisipasi secara aktif. Semua ini akan memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya secara optimal. Suasana kegiatan belajar-mengajar yang menarik, interaktif, merangsang kedua belahan otak peserta didik secara seimbang, memperhatikan keunikan tiap individu, serta melibatkan partisipasi aktif setiap peserta didik akan membuat seluruh potensi peserta didik berkembang secara optimal. Selanjutnya tugas guru adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan yang maksimal.

G. Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa

Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002:273).
Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (dalam Goleman, 2002 : 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 2001:xvii).

Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses disekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman (Gottman, 2001 : 250).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah.

H. Membangun Kecerdasan Emosional Anak Sejak Usia Dini

Membangun ketrampilan emosional anak sejak dini menjadi sangat penting kalau kita kembali akan membuat karakter anak-anak kita menjadi baik. Mengapa penting ?
Orang yang tidak sependapat meragukan perlunya mengajarkan emosi kepada anak-anak. Dan mereka bertanya, Bukankah emosi datang secara alami pada anak-anak? Jawabnya adalah TIDAK!. Banyak ilmuwan percaya bahwa emosi manusiawi kita, terutama, berkembang melalui mekanisme kelangsungan hidup. Dan anak yang mempunyai kecerdasan emosional akan mendapat banyak keuntungan pada masa mendatang dalam perjalanan hidupnya. Dan kecerdasan emosional, atau EQ (Emotional Quotient), bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, melainkan pada suatu yang dahulu disebut karakteristik pribadi atau "karakter".
Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa ketrampilan EQ yang sama untuk membuat anak siswa yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya pada dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga.

Berbeda dengan IQ, EQ sulit untuk diukur, namun walaupun kita tidak dapat begitu saja mengukur bakat atau sifat-sifat khas seseorang - misalnya kemarahan, percaya diri atau sikap hormat kepada orang lain - kita dapat mengenali sifat-sifat tersebut pada anak-anak dan sepakat bahwa sifat-sifat tersebut mempunyai nilai penting.
Barangkali perbedaan yang paling penting untuk diketahui antar IQ dan EQ adalah, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih keberhasilan. Disinilah orang tua berpeluang dan mempunyai kesempatan yang tidak dapat diulang, untuk membentuk pribadi anak yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik.
Tidaklah mudah untuk membentuk pribadi dengan kecerdasan emosional yang ideal, perlu kesabaran dan ketelitian. Usaha membentuk kecerdasan emosional ini bukanlah suatu yang harus membebani orang tua dalam mendidik anaknya, dan tidak ada orang tua yang sempurna. Satu hal penting yang perlu diingat adalah bahwa satu perubahan saja dapat memberikan efek yang luar biasa pada kehidupan anak kita. Dengan kata lain, menekankan pada salah satu aspek (dalam kecerdasan emosional) akan mendatangkan efek bola salju.
Dengan melihat kualitas-kualitas yang ditunjukkan dalam kecerdasan emosional, kita akan sepakat bahwa karakter-karakter seperti itulah yang diharapkan oleh kita sebagai makhluk sosial dan dengan memiliki beberapa kualitas tersebut seorang anak atau orang dewasa akan dapat menghadapi permasalahan-permasalahan hidup yang semakin komplek dan berhubungan dengan orang lain.

Sejak Kapan Kecerdasan Emosional Perlu Ditanamkan pada Anak?
Keberhasilan kecerdasan emosional seseorang berpengaruh pada kesuksesan seseorang pada masa mendatang, juga berpengaruh pada prestasi belajar dan bekerja. Hal tersebut sudah harus menjadi kebiasaan sejak kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional sudah harus diberikan sejak usia anak mengenal tantangan di dunia luar kehidupan dirinya, yaitu sejak balita.
Mengingat semakin meluasnya informasi penting mengenai kecerdasan emosional ini, sekarang banyak lembaga pendidikan, khususnya prasekolah, kembali mengembangkan kurikulum yang menyangkut kecerdasan emosional ini. Karena kecerdasan ini berpengaruh juga pada prestasi belajar para siswa. Tetapi perlu diingat, dibandingkan pendidikan di sekolah yang hanya beberapa jam dalam sehari, akan lebih efektif lagi bila pendidikan itu diberikan juga dirumah secara habitual (kebiasaan).
Kecedasan tersebut tidak hanya dibutuhkan di dalam proses belajar di bangku sekolah atau kehidupan rumah tangga tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas sampai ke jenjang kerja. Dan apabila kita kupas satu persatu kualitas kecerdasan emosional tersebut kita akan bisa lihat manfaat dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Sampai sejauh mana kecerdasan emosional mempengaruhi keberhasilan dalam setiap tahap kehidupan sejak kecil ?… Hal itu bisa kita diskusikan selanjutnya. Dan semua itu tergantung pada kita sebagai orang tua, apakah kita sebagai orang tua peduli pada perkembangan kecerdasan emosional anak-anak kita.












DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Cooper Cary & Makin Peter, 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta: Arcan.
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. (2000). Working With Emotional Intelligence (terjemahan).
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, John. (2001). Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan
Emosional (terjemahan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Harmoko, R., Agung, 2005. Kecerdasan Emosional. Binuscareer.com

Winkel, WS (1997). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta : Gramedia.

Senin, 20 Juli 2009

Perilaku dan Aplikasi

Contoh 1:

Tuan,
Apa yang dilakukan para guru sekarang? Mereka sepertinya tidak tahu apa yang dilakukan pertama kali dalam mengajar penglafalan. Salah satu penglafalan yang membuatku sakit hati adalah ketika orang-orang mengatakan ”Lore” bukannya ”Law”. Di radio dan tv Lore and Order menggantikan Law and Order di semua ucapan penyiar. Bisakah orang-orang melihat bahwa Lore dan Law, Saw dan Soar adalah kata yang berbeda?

Masyarakat yang mempunyai pandangan kuat mengenai bagaimana ”words” atau kata seharusnya seharusnya diucapkan diilustrasikan dengan bagus pada bab ini. Permasalahan pada apakah ”r” diucapkan atau tidak diucapkan dalam bahasa Inggris adalah sebuah contoh bagus dari berubah-ubahnya fitur-fitur linguistik yang menarik perhatian lebih, seperti yang kita temui pada bab 9 dan 10. tidak ada pada hakekatnya baik dan buruk tentang pengucapan [r]. Namun, dalam beberapa komunitas hal ini dikaitkan dengan sebuah contoh ”good speech” (cara pengucapan yang bagus) sedangkan pada komunitas lainnya, pengucapan [r] dikaitkan dengan lucu, kasar, dan sebagai bukti akan kurangnya pendidikan. Akhirnya, perilaku terhadap bahasa mencerminkan sikap pada pengguna dan kegunaan dari bahasa, yang akan kita lihat pada bab ini. Tidak ada pada hakekatnya indah atau benar pada suara tertentu. ”Swallow” (menelan) contohnya, mempunyai konotasi positif pada saat diasosiasikan dengan ”Bird” (burung), tetapi jika kata mendefinisikannya dengan ”action of chewing” (mengunyah) maka asosiasinya akan berubah, dan juga penafsiran pada kata ”beauty” (indah). Maka konteks adalah segalanya.
Beberapa kritik dari pengucap [r] –less (tanpa huruf ’r’) bahwa mereka akan merugikan pengguna bahasa pada area membaca pada umumnya. Mereka berpendapat bahwa masyarakat yang tidak membedakan pengucapan ’lore’ dan ’law’ atau ’sword’ dan ’sawed’ akan menyimpan permasalahan kebutaan huruf kedepannya. Sangatlah mudah untuk menemui ketakutan tersebut. Sementara itu, pembedaan pengucapan bisa menjadi sebuah alat bantu dalam membedakan makna yang tidak perlu. Masyarakat masih berupaya untuk membedakan arti dari ’son’ (anak) dan ’sun’ (matahari), ’break’ (jeda) dan ’brake’ (rem), dan ’write’ (tulis) dengan ’right’ (kanan/benar) terlepas dari fakta bahwa semuanya bersuara sama dalam bahasa Inggris. Tetapi argumen jenis ini, tersambung dalam sikap linguistik yang didasari oleh tanggapan sosial tentang seringnya pembelajaran paslu, yang mengejutkan justru tersebar luas.

Contoh 2:

’Danish’ bukanlah sebuah bahasa, melainkan sebuah penyakit tenggorokan, begitulah tuilisan responden asal Norwegia dalam balasannya kepada kuisoner di tahun 1950an yang menanyai pendapat orang-orang Skandinavia aka hubungan kualitas estetis dari bahasa Swedia, Denmark, dan Norwegia

hasil dari kuisoner menempatkan bahasa Swedia ditempat pertama dan bahasa Denmark di urutan terbawah. Hasil-hasil ini mencerminkan tidak banyaknya hubungan kualitas estetis dari ketiga bahasa sebagai keuntungan politik dari ketiga negara diasosiasikan satu sama lain. Swedia pada saat itu tidak diragukan lagi sebagai pemimpin politik, sementara Denmark – bekas penguasa – mempunyai peran yang kurang dalam politik. Perilaku masyarakat terhadap Swedia dan Denmark merefleksikan politik Skandinavia daripada bahasan mengenai hakikat fitur-fitur linguistik dari bahasa. Dengan bangkitnya pengaruh Denmark melalui keanggotaannya di Komunitas Ekonomi Eropa, seseorang mungkin akan mengaharapkan hasil yang berbeda dari kuisoner yang sama di tahun 1990an.
Telah disarankan bahwa intelligibility juga dipengaruhi oleh perilaku, jadi masyarakat menemukannya lebih mudah untuk mengerti bahasa dan dialek yang diucapkan oleh orang yang disuka atau dikaguminya. Sebuah pendapat yang hampir sama, paling tidak unuk mayoritas anggota kelompok, adalah masyarakat lebih termotivasi, dan secara konsekuen lebih-lebih sukses, dalam pemerolehan bahasa kedua ketika mereka merasakan hal yang positif terhadap mereka yang menggunakannya. Jelas, perilaku ke bahasa mempunyai implikasi yang menarik, keduanya untuk guru politik dan bahasa.
Masyrakat pada umumnya tidak menahan pendapat mengenai bahasa dalam sebuah kebingungan. Mereka mengembangkan sikap terhadap bahasa dimana merelfeksikan pandangan-pandangan mereka mengenai mereka yang mengjarkan bahasa tersebut, dan juga konteks dan fungsi dengan dimana mereka diasosiasikan. Ketika masyarakat mendengarkan aksen atau bahasa yang belum pernah didengar sebelumnya, maka penaksiran mereka akan benar-benar acak. Tidak ada pola. Dalam kata lain, tidak ada persetujuan yang bersifat universal tentang bahasa mana yang tedengar lebih indah dan mana yang jelek, walaupun ada beberapa yang yakin bahwa beberapa bahasa bersifat lebih indah dibandingkan yang lainnya.
Sikap atau perilaku terhadap bahasa sangat kuat dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik, sebagaimana yang telah dibuktikan dalam diskusi pada bab 4 dan 5. Para perencana bahasa harus mengambil catatan atau perhitungan dari sikap atau perilaku ketika memilih mereka memilih sebuah bahasa yang cocok untuk perkembangan sebagai bahasa yang resmi dan nasional. Perilaku atau sikap terhadap pidgin dan creol contohnya, merupakan halangan utama pada saat ini terhadap kemunculan dan penerimaannya sebagai bahasa yang resmi atau untuk digunakan di sekolah. Di beberapa negara, status resmi diberikan kepada bahasa yang tidak populer telah menimbulkan permasalahan. Telah terjadi kekacauan di Belgia dan India untuk permasalahan bahasa, dan terjadi pengeboman-pengeboman dan pemusnahan tanda jalan yang berbahasa Inggris mengilustrasikan kekuatan dari perasaan masyarakat mengenai posisi dari Inggris di Wales. Di Quebeck ditemukan pada tahun 1960an bahwa orang-orang Prancis-Kanada memiliki kecenderungan untuk menilai dengan positif suara dari orang-orang Inggris-Kanada yang berbentuk kaset, lebih intelegensi, berkompeten dan mudah disukai, daripada suara dari Prancis-Kanada. Ditahun 1970an, walau bagaimanapun, penilaian dari suara Prancis-Kanada lebih tinggi, dimana mencerminkan meningkatnya kesadaran politik, dan menigkatnya penghargaan terhadap diri sendiri pada saat itu. Sikap atau perilaku bahasa sangat sensitif sifatnya terhadap perubahan keadaan sosial dan politik.
Sikap atau perilaku bahasa bisa mempunyai sebuah pengaruh yang luar biasa di beberapa wilayah seperti pendidikan. Arugmen dan pendapat di Somalia mengenai tulisan yang mana yang seharusnya digunakan untuk menulis bahasa Somali, bahasa Cushtic, telah menunda kemajuan dalam pengembangan pemberantasan jumlah penyandang buta huruf dalam beberapa dekade. Faktor yang paling mempengaruhi dalam perdebatan ini adalah bukan pada manfaat yang intrinsik yang terdapat pada tulisan alternatif lainnya, tetapi lebih kepada sikap atau perilaku masyarakat terhadap pembicara dan penulis bahasa Arab dan Inggris dan pada fungsi-fungsi dimana bahasa-bahasa tersebut digunakan. Para pendukung dari tulisan bahasa Arab menunjuk pada prestis, bersifat agama, dan kepentingan budaya Arab untuk masyarakat Somalia. Telah diakui bahwa beberapa dari puisi agama telah ditulis menggunakan bahasa Somalia dalam bentuk bahasa Arab yang mempunyai semangat komposisi-komposisi yang sama oleh orang-orang Arab. Mereka yang menganjurkan untuk menggunakan latin Alphabet menunjuk pada kebergunaannya dan akses yang mengarah kepada pemerian informasi dan teknologi. Sebuah usaha dalam mencangkokkkan sebuah tulisan, yang dikenal sebagai tulisan Osmania setalah penemunya Osman Yusuf, telah berusaha, tetapi gagal untuk mengejarnya. Akhirnya, di tahun 1973 tulisan latin diadopsi dan diberi status resmi. Beberapa melihat hal ini sebagai sebuah keberhasilan untuk efisiensi diatas sentimen. Yang lain memandang hal ini sebagai sebuah keputusan yang bersifat birokratis daripada sebuah tulisan yang mempunyai latar belakang budaya. Sikap atau perilaku terhadap bahasa pastilah memberikan kontribusi terhadap tahun-tahun terjadinya kebuntuan dan kurangnya kemajuan dalam memilih sebuah tulisan di Somalia.

Perilaku bahasa bisa memberikan dampak yang signifikan di beberapa area, seperti pendidikan. Perdebatan-perdebatan di Somalia mengenai tulisan mana yang seharusnya dipakai oleh masyarakat Somalia, bahasa Cushitic, perkembangannya ditunda dengan bertambahnya angka buta huruf dalam beberapa dekade. Faktor-faktor yang paling penting dalam perdebatan ini adalah bukan kegunaan intrinsik dari naskah alternatif, tetapi lebih kepada perilaku masyarakat kepada penutur dan penulis bahasa Arab dan bahasa Inggris dan fungsi-fungsinya dimana kapan bahasa-bahasa tersebut digunakan. Pendukung dari naskah basaha Arabmerujuk ke arah prestis, peranan dalam agama, dan kepentingan budaya dari bahasa Arab untuk masyarakat Somalia. Hal tersebut didukung oleh klaim bahwa beberapa dari pusis religius ditulis oleh orang Somalia dalam bahasa Arab. Untuk mereka yang lebih memilih penggunaan latin Alphabet, menekankan kepada kegunaannya dan terlebih kepada akses yang bisa mempermudah dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Pada akhirnya, di tahun 1973 sebuah naskah latin alphabet diadopsi dan diberikan status resmi. Beberapa melihat hal ini sebagai kemenangan atas efisiensi, sementara beberapa yang lainnya menganggap hal ini sebagai keputusan birokratis ketimbang mempertahankan naskah yang bersifat budaya. Perilaku terhadap bahasa jelas memberi kontribusi terhadap berhentinya perkembangan dalam sebuah naskah di Somalia.

PRESTIS YANG JELAS DAN TERSEMBUNYI
Kelas elokusi di Belfast dengan muridnya yang baru saja membaca puisi menggunakan pelafalan lokal Belfast seperti ”Jane”. Guru elokusi merespon sebagai berikut:

Guru : bagaimana kamu mengucapkan namanya? (Jane)
Murid : Jane
Guru : bagaimana kamu mengingatnya?
Murid : ”The Rain in Spain falls mainly on Plain.”

Prestis merupakan konsep yang licin. Arti dari prestos yang jelas adalah pembuktian diri sendiri. Variasi standar di dalam sebuah komunitas mempunyai prestos yang jelas. Penutur yang menggunakan variasi standar mempunyai nilai tinggi dalam skala status pendidikan dan pekerjaan, dan penilaian ini mencerminkan asosiasi dari variasi cara berbicara mereka, dimana umumnya dianggap sebagai “cara terbaik” dalam berbicara di dalam sebuah komunitas. Hal ini dengan jelas disukai dan umumnya dikenal sebagai sebuah model dari tuturan yang ”bagus” oleh semua kalangan dari komunitas, tanpa memperhatikan bagaimana cara mereka berbicara. Kenyataannya hal ini telah dianjurkan bahwa persetujuan ini mengenai variasi standar atau aksen terbaik adalah apa yang mengidentifikasi sebuah kelompok masyarakat.
Prestos yang tersembunyi adalah sebaliknya, adalah sebuah istilah ganjil dimana bisa dimaksudkan sebagai peranan dua ide yang berkontradiksi. Bagaimana bisa sesuatu mempunyai prestis jika nilai-nilainya tidak dikenal secara publik?. Istilah prestis tersembunyi telah banyak dighunakan, bagaimanapun, untuk mengarah kepada sikap yang positif terhadap vernakular atau variasi bahasa non-standar. Jelas sekali variasi tersebut dinilai atau mereka akan berhenti menggunakannya. Masih saja, ketika masyarakat ditanyai untuk berkomentar, mereka jarang sekali mengaku untuk menilai mereka (paling tidak terhadap orang asing).
Di beberapa sekolah di Britania dan di New Zealand juga, anak-anak diajarkan untuk berbicara RP dalam kelas elokusi, tetapi mereka tidak akan pernah mengerti jika menggunakannya di luar kelas. Aksen lokal adalah satu-satunya cara untuk berkomunikasi dengan teman, teman kerja dan keluarga. Hl tersebut menunjukkan identitas dan solidaritas dari kelompok. Tidak kaget, banyak orang tidak mau terdengar seperti Margaret Tatcher, Pangeran Charles atau penyiar BBC.
Ada juga sebuah kelompok dalam jumlah yang besar tidak memperhatikan bahwa mereka tidak berbicara dengan aksen yang dikaguminya dan menganggapnya sebagai standar. Kebanyakan orang akan terkejut ketika mereka mendengar suara mereka sendiri dalam bentk rekaman. Beberapa dari keterkejutan ini biasanya berhubungan dengan pengalafalan yang mereka dengar lalu digunakannya.
Ada sebuah cerita menganai seorang public speaker dalam sebuah konferensi, di dalam pidatonya mengenai pertentangan ketidak teraturan dan pengucapan yang buruk seperti penggunaan ”gonna” untuk ”going to” dia mengakhirinya dengan:

”Dan saya memebritahukan kepada anda saya percaya bahwa pengalafalan yang tercela ini harus ditentang oleh semua guru dan menghilangkannya secara total, dan saya akan sangat ”damn” (kutukan) yakin bahwa tidak ada murid di kelas saya yang menggunakannya.”

Seperti mengutuk mulutnya sendiri dengan sebuah lafal yang sudah dikenal, dan dia pun malu dan larut dalam tawa dari audiensinya. Hampir sama, dalam contoh 4

Contoh 4:
Kasus dari Debbie S dan Nyonya S berakhir dalam catatan yang tidak menyenangkan. Di dalam diskusi mengenai ’r’ baik ibu dan anak bersikeras bahwa mereka selalu melafalkan ’r’ mereka..... mereka mengolok pembicara 2 (salah satu dari pembicara dalam rekaman yang yang diputarkan untuk mereka) untuk menghilangkan satu ’r’ dan mereka tidak dapat percaya kalau mereka membuat kesalahan oleh mereka sendiri. ”Dengan tidak bijak saya memutar kembali rekaman dimana Mollie S mengucapkan ’strawberry shortcake, cream on top, tell me the name of my sweetheart’. Dia bisa mendengarkan kurangnya ’r’ dalam ucapannya tetapi setealah beberapa waktu berpikir dia menjelaskan situasi sebagai sebuah pemindahan psikologis, dia membayangkan dirinya sendiri dalam masa kecil, dan menggunakan bentuk penglafalan kekanak-kanakan. Lalu saya memutar kembali bagian ujaran yang berhati-hati, diskusi mengenai common sense, dan juga bacaan Debbie tentang teks standar. Ketika nyonya S dan anak perempuannya pada akhirnya menrima fakta bahwa mereka secara teratur mengucapkan ’r’ dengan cara mereka sendiri”.

Realisasi bahwa kita tidak selalu berbicara seperti yang kita bayangkan bisa memberikan bukti sebagaimana sebuah surat keberatan untuk tidak terlalu cepat dalam menghakimi ujaran orang lain.
Conotoh 5:
Ray adalah pemuda asal West Indian yang memilikidaftar-daftar linguistik termasuk Patois sebagaimana juga Inggris standar dengan aksen London. Dia tidak mempunyai bayangan mengenai pandangan gurunya mengenai Patois, variasi bahasa yang digunakannya dengan temannya. ”Dia (guru) lebih suka kita tidak mengucapkan apapun jika kita tidak menggunakan bahas Inggris yang layak. Dan juga untuk Patois lainnya dia akan marah jika dia mendengarkan kita menggunakannya di sekolah, dia menyebutnya jorok, ujaran yang jelek.”

Creole milik Jamaika, atau Patois yang sudah didiskusikan pada bab 2 dan 8 adalah sebuah contoh yang bagus dari sebuah kode yang bertahan karena bahasa tersebut dinilai sebagai tanda dari identitas oleh penggunanya. Kita bisa menyebut hal tersebut mempunyai prestis yang tersembunyi semenjak sedikit sekali kulit hitam mengakui kepada orang lain bahwa keahlian dalam Patois sangat dikagumi, khususnya diantara anak-anak muda Britania yang berkulit hitam. Sebagaimana contoh 5 mengindikasikan adanya perilaku/sikap yag resmi terhadap bahasa, bahkan di tahun 1980an dianggap sebagai perbuatan tercela terhadap pengurangan bentuk bahasa Inggris yang dianggap sebagai penghalang kemajuahn pendidikan dari anak-anak Jamaika di Britania. Guru-guru telah mendeskripsikan bahasa yang dipakai muridnya yang berasal dari West Indian sebagai ”kebayi-bayian”, ”kurang berhati-hati”, dan ”jorok”, dan juga ”kurangnya tata bahasa yang layak” persis seperti cara mereka berjalan. Faktanya Patois adalah sebuah variasi bahasa dengan tata bahasa yang kompleks, pengucapan yang khusus, dan beberapa pokok perbendaharaan kata yang khusus yang kita lihat di bab 8.
Secara jelas sikap yang negatif terhadap Patois mencerminkan tekanan posisi sosial kepada masyarakat West Indian di Britania terhadap fitur-fitur dalam bahasa itu sendiri. Pindahan asal West Indian yang pergi ke Britania yang pergi ke Britania selama periode 1950an dan 1960an dengan sebuah sikap umum yang positif untuk mencari pekerjaan.

SOSIOLINGUISTIK DAN PENDIDIKAN
Dialek Vernakular dan Kerugan Edukasional

Banyak ahli sosiolinguis ikut serta dalam perdebatan publik ini mengenai implikasi edukasional dari penelitian mereka. Contoh yang paling dikenal adalah kemungkinan pada bagian dimana ahli sosiolinguistik mendebatkan penggunaan bentuk dialek vernakular adalah mengalami kekurangan secara linguistik.
Hal ini telah dibuktikan dalam beberapa kesempatan dibanyak komunitas bahasa dengan anak-anak kelas menengah yang melakukannya lebih baik di sekolah dari pada anak-anak yang berasal dari kelas pekerja. Mereka mendapatkan hasil ujian yang lebih bagus. Hal senada adalah, walaupun ada beberapa ekspektasi bahwa anak-anak yang berasal dari budaya yang lebih modern pada umumnya mempunyai posisi yang lebih bagus di sekolah ketimbang mereka yang berasal dari kelompok minoritas. Dalam komunitas yang berbahasa Inggris fakta-fakta tersebut seringkali disalah hubungkan dengan fakta bahwa anak-anak dari kelompok yang sukses lebih cenderung menggunakan bentuk dialek standar – mereka menggunakan standar bahasa Inggris – sementara ujaran yang berasal dari kelompok yang kurang sukses seringkali mengikut sertakan bentuk vernakular dengan frekuensi yang sering.
Hal tersebut adalah sebuah wilayah dimana beberapa sosiolinguis telah berusaha dengan keras untuk menjadi berguna. Beberapa telah mengambil penelitian untuk menginvestigasi tingkatan dimana penggunaan dari bentuk vernakular atau variasi khusus seperti Patois di Britania bisa berperan sebagai pembatas dalam komunikasi antara guru dan murid. Yang lainnya telah menginterpretasikan hasil dari penelitian sosiolinguistik untuk guru.dan mempersembahkan saran dan rekomendasi untuk kegiatan kelas.

Contoh 9:
Di tahun 1977 Moria Lewis berumur 8 tahun. Dia tinggal di kota Ann Arbor di Amerika Serikat tepatnya di Green Road, sebuah wilayah dimana disana terdapat masyarakat yang kaya dan miskin. Dia bersekolah di sekolah lokal, SD Marthin Luther King, itu adalah sebuah skolah yang didominasi oleh anak-anak berkulit putih, tetapi disana juga ada anak-anak keturuanan Afrika-Amerika atau Afro-America seperti Moira dan beberapa dari Asia dan juga Latin. Diwaktu Moria berumur 8 tahun, ibu Moira meyakini bahwa anaknya tidak berbuat maksimal di sekolahnya. Dia berbicara kepada temannya sesama keturunan Afrika-Amerika, dari pihak sekolah memberi label yaitu sebagai ”ketidak mampuan belajar”. Tetapi ibu Moira dan teman-temannya mengetahui lebih baik dari ppihak sekolah. Anak-anak mereka sangatlah sehat, anak-anak yang cemerlang. Hanyalah sekolah yang menggagalkan, dan bukan anak-anaknya. Sang ibu pun mengambil keputusan untuk membawa permasalahan ini ke pengadilan, menuntut bahwa para guru dirasa kurang mampu dalam memberikan pendidikan untuk anak-anak mereka. Para ibu memenangkan kasus mereka, dan pihak sekolah diminta untuk menyediakan sebuah program untuk Moira dan teman-temannya dimana telah diberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan kesuksesan edukasional.

Dalam contoh diatas, ibu-ibu keturunan Afrika-Amerika berpendapat bahwa sekolah lokal tidak memperhitungkan keahlian linguistik dan kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Beberapa ahli sosiolinguistik yang disebut sebagai ”saksi ahli” untuk memberikan kesaksian bahwa bahasa Inggris orang hitam yang digunakan anak-anak adalah sebuah dialek khusus yang berasal dari standar bahasa Inggris Amerika, dengan sebuah sejarah khusus dan asal-usul dalam sebuah Creole yang dikembangkan pada masa perbudakan perkebunan Amerika. Hakim menerima testimoni mereka dan memperintahkan pihak sekolah untuk memperhitungkan fitur-fitur dari dialek yang dimiliki anak-anak. Dia menunjuk bahwa guru dan murid harus saling mengerti satu sama lain, dan mengekspresikan pola pikir mereka bahwa halangan utama terhadap perkembangan anak diambil dari bentuk sikap negatif yang tidak disengaja oleh guru terhadap anak-anak yang berkomunikasi dengan bahasa Inggris orang hitam. Langkah-langkah yang sudah diambil untuk meredakan situasi yang paling utama adalah mealith guru secara intensif. Hal ini termasuk, contohnya, membantu mereka membedakan antar fitur-fitur dari dialek anak-anak dan membaca kesalahan-kesalahan, dan menyarankan kepada mereka bagaimana cara mereka membantu anak-anak untuk mengembangkan kemampuan mengalihkan dari bahasa Inggris orang kulit hitam dengan standar bahasa Inggris Amerika.
Perbedaan-perbedaan dialek tentu saja dapat membawa ke kesalah pahaman, khususnya jika pengguna dialek vernakular belum pernah mengerti kegunaan dari dialek standar. Dalam kebanyakan komunitas berbahasa Inggris, bagaimanapun, seperti di Ann Arbor, ada sedikit bukti bahwa anak-anak yang menggunakan b ntuk vernakular mempunyai masalah dalam memahami bahasa Inggris standar yang mereka dengar dari televisi, radio, dan dari guru mereka. Kenyataannya, sosiolinguis telah mendemonstrasikan bahwa dalam beberapa komunitas, paling tidak, anak-anak sangat mengerti mengenai dialek standar, semenjak mereka ditanyai untuk mengulang kembali kalimat-kalimat dengan menggunakan bahasa standar mereka sering sekali menginterpretasikan dengan akurat kedalam ekuivalen vernakular, sebagaimana pasangan dari kalimat yang terdapat pada contoh 10. Kalimat (b) pengulangan kembali dari sang anakdari kalimat (a).

Example 10
(a1) Nobody ever sat at any of those desks.
(b1) Nobody never sat at no desses.

(a2) I asked Alvin if he knows how to play basketball.
(b2) I aks Alvin do he know how to play basketball.

Penterjemahan mengisyaratkan pemahaman, jika, sebagaimana diutarakan oleh contoh-contoh, pemahaman biasanya bukanlah sebuah halangan utama, pertanyaan selanjutnya adalah apakah segalanya harus diselesaikan untuk mengubah ujaran dari anak-anak yang menggunakan bentuk vernacular.
Para ahli sosiolinguistik telah menunjuk bahwa percobaan mengenai merubah ujaran masyarakat tanpa kerjasama yang bagus dari mereka adalah sia-sia. Masyarkat mampu merubah ujaran mereka sendiri jika mereka benar-benar menginginkannya, tetapi guru dan orang tua akan membuang-buang waktu mereka untuk memperbaikinya jika anak-anak tidak mau terdengar berbeda. Telah diperhatikan bahwa ketika anak-anak menirukan gurunya hanyalah untuk bersenang-senang, atau ketika mereka bermain peran di dalam permainan yang merupakan kegiatan sekolah, mereka sering sekali menghasilkan bentuk standar dengan konsisten untuk selama yang dibutuhkan. Motivasi dan pilihan bebas adalah faktor penting, dan percobaan lainnya untuk mengajar bentuk dialek standar tidak akan sukses tanpa mereka.
Jika, walau bagaimanapun, anak-anak dapat melihat suatu poin dalam menguasai bentuk standar secara konsisten di konteks khusus, seperti wawancara pekerjaan, maka, dengan informasi yang disediakan oleh sosiolinguis, guru mampu menyediakan murid dengan bimbingan dimana bentuk vernakular adalah hal yang mencolok untuk pendengar. Banyak sosiolinguis percaya, bagaimanapun, bahwa kewajiban utama mereka adalah untuk mengedukasi komunitas untuk menerima variasi dan bentuk vernacular, tanpa mengutuk atau memandang penggunanya untuk mengadopsi bentuk ujaran standar. Hal ini merupakan are yang masih dikerjakan dan diperdebatkan dalam pendidikan linguistik.

KEKURANGAN LINGUISTIK
Sebuah area dimana penelitian sosiolinguistik telah membuktikan kegunaannya adalah area dari percobaan pendidikan. Sosiolinguis telah mendemonstrasikan bahwa pernyataan mengenai anak-anak dari kelompok minoritas dan anak-anak dari kelompok kelas pekerja memiliki kekurangan dalam segi linguistik yang pada umumnya dilandasi oleh kurangnya tes atau ujian. Kontribusi yang utama dari sosiolinguis di wilayah ini adalah untuk menghasilkan bukti mengenai efek dari faktor-faktor kontekstual dalam tuturan.
Sebuah contoh yang akan disajikan akan mengilustrasikan pokok bahasan ini. Dalam rangka untuk memperluas perbendaharaan dan tata bahasa mereka, adalah hal biasa bertanya kepada anak-anak untuk menyelesaikan sejumlah tes atau ujian bahasa. Di waktu yang sama, ujian-ujian ini sering sekali diadministrasikan oleh seorang dewasa, asing dan berasal dari latar belakang sosial yang berbeda dari sang anak, dan terkadang berasal dari sebuah kelompok etnik yang berbeda pula. Sebagai aturan, setiap anak diwawancarai secara individu di dalam ruangan yang tenang di sekolah. Anak-anak yang berasal dari latar belakang kelompok minoritas dan kelas pekerja yang diuji dengan kondisi-kondisi ini umumnya tidak berjalan dengan baik. Mereka meresponnya dengan biasa-biasa saja, berkata sesedikit mungkin, dan setelah itu keluar dengan perasaan lega ketika semua proses berakhir. Anak-anak dari kelas menengah adalah sebaliknya, mereka cenderung untuk melakukannya lebih baik. Mereka lebih berniat untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban yang panjang.
Para ahli sosiolinguistik menunjukkan bahwa walaupun hal-hal tersebut mengadministrasikan mereka ataupun mereka mengadministrasikan tes-tes ini dengan kondisi yang ’standar’ dan ’terkontrol’, ada beberapa fakta beberapa perbedaan penting dengan pengalaman dari anak-anak kelas menengah dibandingkan dengan yang lainnya sedang dalam pengujian. Seorang dewasa yang asing menggunakan dialek standar akan terlihat seperti teman dari ibu atau ayahmu jika kamu berasal dari anak kelas menengah. Jika kamu bukan dari golongan tersebut, pengalamanmu akan orang dewasa yang menggunakan variasi standar adalah guru, pekerja sosial, dan anggota pemerintahan – bukan tipe orang dimana seorang anak kecil ingin berbicara untuk jangka waktu yang lama jika mereka bisa menhindarinya.

Contoh 11:
Michelle pulang sehabis sekolah setelah ujian sejarahnya.
”bagaimana kamu mengerjakannya?” tanya ibunya. ”apa yang mereka tanyakan padamu?”
”aku harus menulis tentang Captain Cook”, Michelle membalas.
“apa yang kamu katakan?” Tanya ibunya.
Jadi Michelle menceritakan kepada ibunya tentang semua cerita menarik mengenai petualangan Captain Cook yang dijawabnya pada saat ujian.
Akhirnya, ibunya menginterupsi, ”tapi tidakkah kamu memberitahu bahwa dia adalah salah satu dari orang Eropa yang menjelajah New Zealand?”
”oh tidak” dia menjawab ”aku pikir mereka tahu tentang itu!”.

Jenis dari pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara juga sepertinya lebih familiar untuk anak-anak kelas menengah. Para orang tua kelas menengah sepertinya akan menginstruksikan anak-anak untuk ’memperlihatkan apa yang diketahuinya’. Contohnya adalah ketika nenek berkunjung, Pauline kecil diberi instruksi, ”katakan kepada nenek apa yang kamu lakukan di hari Minggu!.” Jenis dari instruksi ini juga dipakai di dalam ujian, contoh: ”katakan semua yang kamu ketahui tentang gambar ini”. Untuk anak-anak yang biasa mendapatkan pertanyaan ini – pertanyaan dimana kuisonernya sudah tentu mengetahui jawabannya – instruksi seperti itu bukanlah sebuah masalah. Anak-anak yang lainnya mungkin akan menemukan diri mereka bingung dan bertanya-tanya jika disitu terdapat maksud yang tersembunyi atau permainan. Dengan kata lain, kondisi dari ujian tidak sama untuk semua anak-anak.
Sosiolinguis mampu memberikan bukti bahwa anak-anak yang memberi respon biasa-biasa saja dalam sebuah tes wawancara merupakan anak yang fasih dan komunikatif dalam konteks yang berbeda – contohnya dengan teman mereka. Salah seorang peneliti menunjukkan bahwa konstruksi evaluatif digunakan dalam story-telling oleh keturunan remaja Afrika-Amerika yang dia rekam bahwa ternyata lebih berkembang atau dewasa daripada yang digunakan oleh mereka yang berkulit putih. Dengan kata lain, kenyataan bahwa anak-anak ini mengalami kekurangan linguistik atau ’tidak mempunyai bahasa’ atau terbatas dengan ’kode khusus’ disangkal sepenuhnya. Formalitas dan ketidak familiaran mengenai konteks ujian untuk anak-anak ini diperhitungkan sebagai kesalahan dalam penarikan kesimpulan bahwa mereka kehilangan linguistik.
Hal itu juga menunjukkan bahwa bahasa dari ujian lebih mirip untuk anak kelas menengah daripada anak yang berasal dari kelompok sosial lainnya. Ketika merespon ujian pertanyaan-pertanyaan dianalisa, ditemukan bahwa terkadang jawaban yang betul tetapi dengan menggunakan bentuk vernakular dianggap sebagai jawaban salah, karena mereka tidak benar-benar cocok dengan bentuk dari jawaban di daftar jawban. Sekali lagi, bukti dari para ahli sosiolinguistik adalah berharga untuk mendemonstrasikan bahwa bahasa anak sistematis secara linguistik dan terstruktur dan bukan tidak mencukupi atau kurang baik.

Contoh 12
Alan berumur 15 tahun yang sedang benar-benar dibenci oleh guru bahasa Inggrisnya. ’dia tidak tertarik dengan ide kita’, ucapnya ’atau meskipun kita asli atau kreatif. Hal yang paling dia urusi hanyalah kata! Anak laki-laki yang mendapatkan nilai tertinggi menggunakan sebuah kamus. Dia hanya melihat kamus dan memilih kata yang terpanjang dan menempelkannya. Bahkan dia tidak tahu apa yang dimaksud.

Pada tingkatan yang kedua sosiolinguis telah mengekslporasi lebih secara spesifik mengenai cara dimana jangkauan perbendaharaan kata dari anak kelas menengah dibedakan dari mereka yang berasal dai kelas pekerja. Melalui bacaan dari jenis-jenis buku yang disetujui oleh guru, dan memberi informasi kepada perbendaharaan kata dari orang dewasa yang terpelajar, beberapa anak lebih familiar daripada yang lainnya dengan kata dari Graeco-Latin Origin. Kata-kata tersebut - seperti education, exponent, relation atau expression – berhasil diantara 65 dan 100 persen dari ahli perbendaharaan kata yang dipelajari di sekolah menengah dan institusi tingkat ketiga. Tentu saja anak yang familiar dengan kata-kata tersebut akan berada dalam posisi diuntungkan. Suatu penelitian menunjukkan bahwa diantara umur dua belas dan lima belas perbedaan yang hebat dikembangkan dalam penggunaan oral dengan kata-kata tersebut oleh anak yang berasal dari latar belakang sosial yang berbeda.
Anak yang menggunakan kata-kata dari Graeco-Latin origin dengan keterkenalannya dan keyakinan akan terlihat lebih sukses dalam ujian yang membutuhkan pengetahuan mengenai perbendaharaan kata tersebut dalam area pelajaran tertentu. Anak yang berasal dari rumah dimana orang dewasanya membaca tidak untuk hiburan, dan membaca adalah bukan kegiatan normal sehari-hari, cenderung mengembangkan sebuah perbedaan jarak dari perbendaharaan kata – satu dimana nilai yang hebat dari banyak lingkaran mengenai kehidupan sehari-hari mereka, tetapi memiliki sedikit relefansi dalam pemahaman mengenai materi yang mereka temui di buku teks sekolah tingkat menengah.
Satu alasan mengapa anak yang berasal dari kelas perkerja gagal di sekolah, adalah bahwa keganjilan yang menumpuk melawan mereka. Kriteria untuk sukses adalah kriteria kelas menengah – termasuk bahasa kelas menengah dan cara mereka berinteraksi. Kefamiliaran dengan perbendaharaan kata berperan penting terhadap kesuksesan di sekolah adalah belum sebuah contoh dari keuntungan kelas menengah. Alasan kedua yang diidentifikasikan oleh sosiolinguis adalah bahwa banyak dari anak-anak mengenali sekolah adalah institusi kelas menengah. Salah satu potongan yang sangat dramatis bukti dari hal ini adalah disajikan oleh sebuah penelitian dari geng remaja laki-laki di New York. Para anggota geng adalah anak-anak yang gagal di sekolah, belum banyak dari mereka memili kemampuan yang bagus secara verbal. Untuk menjaga posisi sebagai pemimpin kelompok di Harlem wilayah dari New York, membutuhkan kecerdasan dan pertimbangan fasilitas verbal. Mereka bisa menukar hinaan dengan kesenangan dan meresponnya dengan cepat. Ada sedikit keraguan tentang kemampuan bahasa mereka. Masih saja belum dari anak-anak muda ini tertinggal 3 tahun atau lebih dalam tingkatan membaca mereka, dan tidak ada dari mereka mendapatkan nilai diatas normal dari anak-anak umur 11an. Ada apa lagi, semakin tinggi status mereka di geng, semakin kecil nilai mereka. Alasannya cukup rumit, tetapi yang paling penting dan mendasar adalah bahwa mereka tidak saling berbagi tentang ide-ide sekolah dimana yang seharusnya patut untuk diketahui. Mereka tidak mengidentifikasi menggunakan pola pikir sekolah, dan mereka mengetahui bahwa sekolah tidak menghiraukan kemampuan dan nilai mereka. Mereka merasa bahwa mereka telah dianggap sebagai orang luar sejak awal, dan tidak melihat adanya kenyamanan semenjak mereka tidak punya kesempaan untuk menjadi berhasil.
Perbedaan struktural diantara variasi standar dan vernakular dapat membawa ke arah ketidak akuratan taksiran mengenai potensi anak didik. Perbedaan-perbedaan diantara kelompok dalam persepsi mereka mengenai cara yang tepat untuk berbicara mengenai konteks variasi dapat juga membawa ke arah evaluasi yang tidak akurat tentang kemampuan anak.

KESIMPULAN
Bab ini telah mendeskripsikan tentang jangkauan dari sikap atau perilaku terhadap bahasa dan terhadap variasi bahasa, sebagaimana beberapa dari implikasi sosial dan edukasional seperti sikap. Variasi linguistik dari kelompok yang berbeda dan aturan sosiolinguistik mereka, atau cara yang tepat untuk berbicara dalam konteks yang berbeda, bisa menjadi cukup berbeda. Informasi sosiolinguistik pada basis sosial dari sikap atau perilaku terhadap variasi-variasi ini dan kegunaan mereka membantu menjelaskan mengapa anak yang berasal dari kelompok kelas sosial bawah dan anak yang berasal dari latar belakang kelompok minoritas sering tidak sukses di sekolah. Penelitian sosiolinguistik dapat membangtu dalam mengidentifikasi fokus-fokus konflik yang potensial, dan menyarankan gaya alternatif dari interaksi yang mungkin akan sukses.
Ada celah dari bab ini untuk mengeksplorasi dalam jangkauan yang kecil dari contoh, secara spesifik di dalam bidang linguistik pendidikan, dimana implikasi dan aplikasi dari studi sosiolinguistik dapat menguntungkan. Bercermin dari variasi sosiolinguistik yang dideskripsikan di bab sebelumnya anda akan mampu untuk berpikir akan adanya lebih banyak lagi implikasi dan aplikasi dari penelitian sosiolinguistik. Perencanaan bahasa, contohnya, adalah jelas sebagai area pengaplikasian sosiolinguistik. Pembelajaran bahasa kedua adalah area lainnya dimana informasi sosiolinguistik dalam pola penggunaan bahasa dan sikap terhadap bahasa telah dibuktikan sebagai hal yang bernilai. Informasi sosiolinguistik dapat secara berguna menjelaskan banyak dari interaksi sehari-hari dalam sebuah komunitas ujar.

Selasa, 14 Juli 2009

ANALISIS PERCAKAPAN PENYIAR DAN PENELPON DALAM PROGRAM CURHAT RADIO KOMUNITAS U-FM DI SURABAYA
PENDAHULUAN
Secara diktomis, Brown dan Yule (1996: 1) membedakan fungsi bahasa menjadi dua, yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional. kedua fungsi tersebut mempunyai rujukan yang sama dengan fungsi representatif dan emotif, atau fungsi ideasional dan fungsi interpersonal, serat fungsi deskriptif dan sosial ekspresif.
Berdasarkan dikotomi Brown dan Yule tersebut, kemudian dikenal bahasa transaksional dan bahasa interaksional. bahasa transaksional digunakan untuk menyampaikan informasi faktual atau proposional, sedangkan bahasa interaksional digunakan untuk memantapkan dan memelihara hubungan-hubungan sosial (Brown dan Yule, 1996: 3).
Para linguis dan ahli filsafat bahasa pada umumnya memberikan perhatian khusus pada penggunaan bahasa unutk menyampaikan informasi faktual atau proposional. sedangkan para ahli sosiologi dan sosiolinguistik memberi perhatian pada penggunaan bahasa sehari-hari untuk membentuk dan memelihara hubungan sosial. ketertarikan masing-masing kelompok pada fungsi tertentu dari bahasa tersebut mempunyai dasar pemikiran tersendiri. kelompok pertama berpandangan bahwa bahasa memang sangat mungkin dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, tetapi fungsi yang paling penting adalah untuk menyampaikan informasi. untuk itu pembicara perlu menyampaikan informasi secara efektif, menyatakan informasi secara jelas (Brown dan Yule, 1996: 2).
Sementara itu, kelompok kedua berpandangan bahwa sebagian besar interaksi manusia sehari-hari ditandai dengan pemakaian bahasa yang utama secara interpersonal dan bukan transaksional (Brown dan Yule, 1996: 3). Dijk (dalam Jamal, 2001: 2) lebih lanjut mengemukakan bahwa ketertarikan ahli sosiologi dan sosiolinguistik pada bahasa interaksional disebabkan oleh beberapa faktor berikut 1) percakapan sehari-hari dilakukan orang setiap waktu, 2) secara tersirat orang menggunakan metode tahu sama tahu terhadap pengetahuan sosial, padahal bisa saja mereka mendapatkan masalah, 3) nosi pemahaman penafsiran dan penciptaan pengertian memegang peranan penting dan berkaitan dengan gagasan hakikat realitas sosial pada umumnya dari percakapan sehari-hari khususnya.

Rumusan Masalah
1. Apa sajakah topic percakapan ……..?
2. Bagaimanakah struktur percakapan ………...?
3. Bagaimanakah strategi kesantunan yang digunakan oleh ………..?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan topic percakapan ……..
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur percakapan dalam percakapan ……..
3. mendeskripsikan dan menjelaskan strategi kesantunan yang digunakan oleh ………

Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis pada penelitian ini adalah diharapkan untuk memeberi sumbangan pada bidang analisis wacana dan pragmatik, yang khususnya berkaitan dengan karakteristik percakapan …….. dilihat dari aspek topik, struktur percakapan, dan strategi kesantunan.
b. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberi masukan bagi penutur atau pemakai bahasa Indonesia dalam melakukan percakapan dalam berkomunkasi. Disamping itu, diharapkan hasil dari penelitian ini bisa diharapkan menjadi tambahan wawasan untuk peneliti lain dalam mengembangkan permaslahan analisis percakapan.

Batasan Istilah
1. Percakapan adalah interaksi antarindividu dalam masyarakat secara timbal balik yang dinyatakan dengan pertukaran dalam pemakaian bahasa.
2. Topik percakapan adalah suatu hal yang dibicarakan dan dikembangkan leh partisipan sehingga membentuk suatu wacana percakapan.
3. Struktur percakapan adalah suatu susunan pasangan ujar terdekat dalam suatu segmen percakapan.
4. Strategi kesantunan adalah cara yang dipilih oleh penutur untuk menghindari tindak tutur yang mengancam muka.


KAJIAN PUSTAKA
Penelitian Sebelumnya
Penelitian tentang analisis percakapan ini pernah dilakukan oleh Tannen dan Cynthia Wallat (1986), Wynn (1995), dan Robert (1996).
Tannen dan Wallat mengkaji percakapan antara petugas medis dengan lima keluarga pada kasus penyakit anak. Percakapan tersebut direkam dengan menggunakan video kaset. Berdasarkan analisis terhadap rekaman percakapan tersebut ditemukan bahwa (1) informasi dinegosiasikan dan ditemukan selama wawancara medis berlangsung. (2) pertukaran informasi sering kurang memadai dibandingkan skema kognitif yang telah dimiliki oleh partisipan selama interaksi berlamngsung.
Penelitian Wynn menggunakan dua pendektan yaitu pendekatan analisis percakapan dan pendekatan medis. Pendekatan medis diterapkan dalam penelitiannya karena selain seorang linguis, Wynn juga seorang dokter. Penelitian Robert mengambil subjek percakapan dokter dengan pasien penderita kangker payudara. Penelitian difokuskan pada rekomendasi yang diberikan oleh dokter pada pasien ketika mereka melakukan kunjungan untuk perawatan.

ANALISIS PERCAKAPAN
Pengertian

Analisis percakapan adalah analisis yang sistematis tentang peristiwa berbicara yang dihasilkan dalam setiap situasi interaksi percakapan (talk-in-interaction). Analisis percakapan adalah kajian rekaman tentang percakapan dalam interaksi yang terjadi secara alamiah. Pada prinsipnya, analisis percakapan bertujuan untuk menemukan cara-cara partisipan mengerti dan menanggapi penuturan antara partisipan yang satu dengan yang lain dalam suatu giliran berbicara, dengan menitikberatkan pada urutan perilaku. Hal itu berarti analisis percakapan dapat menemukan langkah-langkah yang tidak dapat diduga sebelumnya dan kompetensi sosiolinguistik yang mendasari produksi dan interpretasi percakapan yang urutan interaksinya teratur (Hutchby dan Wooffitt, 1998).

Analisis percakapan adalah sebuah permulaan yang radikal dari bentuk-bentuk analisis yang diorientasikan secara linguistik pada produksi tuturan dan khususnya perolehan pengertian yang tidak hanya dilihat pada struktur bahasa tetapi yang pertama dan utama adalah sebagai sebuah penyelesaian sosial yang praktis. Hal itu berarti kata-kata yang digunakan pada saat berbicara tidak dikaji sebagai kesatuan-kesatuan semantik, tetapi sebagai hasil atau tujuan yang dibentuk dan digunakan dalam batasan aktivitas-aktivitas perundingan dalam berbicara, seperti salam, sapaan, keluhan, dan sebagainya.

Dengan percakapan, penutur menunjukkan urutan-urutan berikutnya dari sebuah pemahaman yang dibicarakan sebelumnya. Hal itu akan dapat menunjukkan hal-hal utama yang dikehendaki ataupun tidak dikehendaki oleh penutur. Langkah-langkah tersebut disebut sebagai langkah-langkah pembuktian giliran berikutnya (next-turn proof procedure). Langkah-langkah tersebut menjadi alat dasar dalam analisis percakapan untuk menjamin bahwa analisis benar-benar didasarkan pada kelengkapan percakapan sebagai orientasi partisipan dalam menyelesaikan percakapannya, bukan semata-mata didasarkan pada asumsi analis.

Urutan-urutan tuturan dalam sebuah percakapan akan memberikan kepastian informasi yang dikehendaki oleh partisipan dengan adanya pasangan tuturan yang berdekatan (adjacency pair). Pasangan tuturan yang berdekatan ini akan mempertegas langkah-langkah pembuktian terhadap cara-cara partisipan memahami dan membuat pengertian tentang tuturan yang ada. Langkah-langkah pembuktian itu didasarkan pada tiga hal penting tentang peristiwa percakapan. Pertama, tuturan dapat dipandang sebagai tujuan penutur untuk menggunakannya bagi penyelesaian sesuatu yang khusus dalam berinteraksi dengan yang lain daripada hanya sekedar mendengar. Kedua, tuturan terjadi dalam konteks khusus yang memerlukan jawaban-jawaban metodis. Karakteristik metodis berbicara selalu ditujukan pada detail-detail interaksi dan konteks urutan dalam percakapan yang dihasilkan yang biasa disebut dengan tindak tutur. Ketiga, analisis percakapan merupakan sebuah metode ilmiah sosial. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa suatu percakapan dalam interaksi terdiri atas hubungan sebab-akibat yang menggunakan variabel-variabel linguistik yang dipengaruhi oleh variabel-variabel sosial (Hutchby dan Wooffitt, 1998:21).







Dasar-Dasar Analisis Percakapan

Interaksi merupakan suatu tujuan utama dalam penelitian sebuah percakapan. Hal itu didasarkan pada asumsi bahwa interaksi dalam percakapan mampu menggambarkan hubungan sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian percakapan tidak dapat terlepas dari unit-unit aktivitas sosial. Dalam unit-unit aktivitas sosial itu, keterlibatan penutur dan petutur dalam sebuah percakapan akan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Nilai-nilai dan norma-norma itu diperoleh melalui proses pelembagaan yang dilakukan oleh lingkungan tempat penutur dan petutur melakukan aktivitas percakapan. Nilai-nilai dan norma-norma itu membawa konsekuensi bagi penutur dan petutur untuk melakukan proses-proses produksi linguistik yang diwujudkan dalam performansi bahasa tertentu, misalnya pemilihan kata, jeda percakapan, pengambilalihan giliran, dan pilihan bentuk-bentuk metalingistik. Dengan demikian, percakapan tidak hanya sekedar memproduksi tuturan yang mengacu kepada rangkaian kalimat, tetapi terdapat proses internal untuk dapat menggunakan rangkaian kalimat itu dalam sebuah tuturan yang sesuai. Sadtono (1987:149) menyebut tuturan yang sesuai itu dengan istilah “empan-papan bahasa” (language appropriateness).
Sadtono, E. 1987. Antologi Pengajaran bahasa asing Khususnya Bahasa Inggris. Jakarta: Depdikbud

Sebagai sebuah proses yang bersifat internal, maka tuturan yang dihasilkan dalam suatu percakapan merupakan (1) hasil dari perkembangan perasaan, hasrat, dan kebutuhan, sehingga perasaan, hasrat, dan kebutuhan tersebut mendorong seseorang untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain, (2) proses pengubahan pikiran ke dalam bentuk bahasa, (3) penggunaan suara-suara, kata-kata, dan bentuk-bentuk yang disimpan ke dalam jaringan kognitif internal, (4) kompetensi penutur untuk ikut mengambil peran, dan (5) performansi bahasa penutur dan petutur untuk saling mendengarkan hasil tuturan yang diwujudkan dalam perilaku. Dengan demikian, tuturan adalah suatu proses sosial yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan kognitif. Faktor-faktor itu diwujudkan ke dalam kekuatan pendorong pikiran, isi tuturan, pengetahuan sistem bahasa, keaslian pikiran, arah yang diambil, situasi yang dituturkan, dan orang-orang yang diajak bertutur (Chastain, 1976:332).

Agar faktor-faktor sosial dan kognitif tersebut dapat bekerja dengan maksimal, maka diperlukan empat tipe modal yang menonjol dan saling berkaitan. Tipe modal pertama adalah tipe afektif dan emosional. Hal itu mengandung arti bahwa percakapan mempunyai fungsi inti untuk menyampaikan dan mendistribusikan kegembiraan dan orientasi positif dan negatif antarpartisipan. Tipe modal kedua adalah berbagi informasi. Hal itu mengandung arti bahwa percakapan mempunyai fungsi inti untuk menyampaikan informasi dalam sebuah komunikasi antara dua orang atau lebih. Berbagi informasi adalah memasukkan tambahan pengetahuan yang tidak terbatas dan melanjutkan upaya perluasan asosiasi yang sangat khusus. Tipe modal ketiga adalah resolusi yang difokuskan ke arah tujuan pernyataan atau pengakuan. Tujuan pernyataan atau pengakuan mensyaratkan adanya sejumlah reorganisasi sudut pandang dan sejumlah akomodasi dari masing-masing partisipan agar sampai pada suatu kesepakatan. Poses resolusi itu mencakup kesepakatan, konflik, debat, diskusi, dan sebuah integrasi ekspresi ide-ide yang muncul pada saat terjadinya pertukaran informasi. Tipe modal keempat adalah interaksi ramah tamah yang mencakup keramahtamahan yang diperbolehkan, pertimbangan-pertimbangan, kepedulian, dan kespontanitasan. Kontak keramahtamahan ini menetapkan adanya suatu kepedulian yang dilanjutkan pada hubungan antarpartisipan dan pengembangan penyebaran informasi. Informasi dipindahkan ke dalam suatu unit-unit verbal. Berdasarkan unit-unit verbal itu, kepadatan informasi, efisiensi waktu, dan keberhasilan akumulasi elemen-elemen percakapan dapat diidentifikasi. Dalam proses pemindahan informasi itu akan didapatkan bukti-bukti fasilitasi dan gangguan interaksi yang eksplisit. Semua itu terjadi secara terorganisasi dan terstruktur. Hal itu sebagai akibat dari adanya proses logika dan tangapan antarpartisipan yang kompleks. Oleh karena itu, penelitian percakapan mensyaratkan adanya teknik yang beragam dan pendekatan teoretis yang sesuai dengan data yang akan dianalisis (Allen dan Guy, 1978:34).

Ada dikotomi dalam analisis proses interaksi yang dicetuskan oleh Bales (dalam Allen dan Guys, 1978:37) yang terdiri dari enam proses. Enam proses itu dibagi menjadi dua tipe. Tipe pertama disebut oposisi fungsional (fungsional oppossition) yang mencakup komponen sosial emosional dan tipe kedua disebut oposisi direksional (directional oppossition) yang mencakup tugas performansi. Oposisi fungsional terdiri dari keramahtamahan, dramatisasi, dan kesepakatan. Oposisi direksional terdiri dari pemberian sugesti, pemberian opini, dan pemberian informasi.


Topik Percakapan

Berkaitan dengan pengertian topik, Rani dkk, (2004: 144) menyatakan bahwa topik merupakan bagian yang difokuskan dan yang diterangkan oleh bagian lain (komentar). Dalam konteks wacana, topik merupakan suatu ide atau hal yang dibicarakan dan dikembangkan sehingga membentuk suatu wacana. Pendapat lain dikemukakan oleh Alwi (2000: 435) yang menjelaskan bahwa topik merupakan proposisi yang berwujud frasa atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Dalam percakapan, pembicara dapat berbicara tentang sebuah topik, masing-masing berbicara tentang tpiknya sendiri, atau mereka sama-sama berbicara topik yang sama.
Topik merupakan pokok permasalahan yang muncul dalam setiap percakapan. Berbagai macam topik percakapan menjadi bahan percakapan. Bahkan dalam satu peristiwa percakapan bisa muncul dua atau lebih topik percakapan. Seperti yang terjadi dalam percakapan mahasiswa pondokan dalam situasi yang tidak resmi. Topik tersebut dapat berganti-ganti sesuai dengan keinginan para penuturnya. Tidak ada batasan yang ditentukan dalam kegiatan percakapan mahasiswa pondokan tadi. Mereka tidak pernah memfokuskan topik pembicaraan.
Ketika terjadi pergantian topik-topik percakapan, terdapat struktur pertukaran percakapan yang harus diperhatikan. Dalam setiap pertukaran percakapan akan diawali oleh pemicu atau inisiasi. Inisiasi tersebut berfungsi sebagai pembuka interaksi. Kemudian, inisiasi tersebut akan diikuti oleh sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut merupakan respons dari mitra tutur dalam percakapan. Dari tanggapan itu akan diikuti juga oleh sebuah balikan yang bersifat manasuka. Alih tutur juga merupakan bagian dari sebuah percakapan, meliputi bagaimana cara mengambil alih giliran bicara dan bagaimana cara memberikan giliran bicara.

Topik merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam percakapan. Howe (1983: 5) mengatakan bahwa topik merupakan syarat terbentuknya wacana percakapan. Analisis topik dalam wacana tidak cukup dengan menganalisis sebuah kalimat. Topik itu dapat dididentifikasi bila analisis wacana memahami konteks wacana yang mendukungnya.
Menurut Brown dan Yule (1983: 69), unutk menganalisis topik wacana diperlukan suatu penggal wacana secara utuh. Yang menjadi masalah adalah bagaimanakah penganalisis memutuskan apa yang telah diambil itu merupakan satuan yang memuaskan untuk dianalisis. Penentuan kapan penggalan wacana itu dimulai dan diakhiri merupakan suatu hal yang rumit. Memang ada ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menandai permulaan suatu wacana yang utuh. Akan tetapi, penutur-penutur sering kali tidak memberikan petunjuk-petunjuk yang begitu jelas untuk membantu penganalisis memlih potongan-potongan wacana yang dipelajari. Unutk itu penentuan penggalan wacana lebih banyak ditentukan oleh intuisi.

Beehubungan dengan topik percakapan, Syamsudin (1992: 55) membedakan adanya dua topik dalam percakapan. Pertama, topik umum, yaitu pokok pangkal pembicaraan yang berperan sebagai judul atau tema. Topik ini mengaarahkan seluruh percakapan sehingga tujuan percakapan tercapai. Kedua, topik-topik kecil yaitu aspek-aspek tertentu yang timbul dalam rangkaian keseluruhan percakapan. Kadang-kadang topik-topik itu berubah-ubah dan meloncat-loncat seirama dengan situasi percakapan.

Struktur Percakapan

Salah satu asumsi analisis percakapan adalah bahwa interaksi dalam suatu percakapan diorganisasikan secara struktural (Sciffrin, 1994: 236). Struktur organisasi suatu percakapan berkaitan erat dengan pasangan ujar terdekat. Pasangan ujar terdekat merupakan urutan dua ujaran yang dihasilkan oleh penutur-penutur yang berbeda. Bagian ujaran yan pertama memunculkan bagian yang kedua. Misalnya pada pasangan ujaran: panggilan-jawaban. Deringan telepon misalnya merupakan suatu panggilan. Panggilan tersebut membuka kondisi yang relevan bagi bagian yang kedua yaitu suatu jawaban. Lebih lanjut Schiffin menyatakan bahwa pasangan ujar terdekat merupakan suatu pola organisasi yang tetap, tindakan-tindakan yang menyiapkan dan merefleksikan urutan dalam suatu percakapan. Pasangan ujar terdekat dapat ditemukan dengan mencari pola-pola yang berulang, distribusi-distribusi, dan bentuk-bentuk organisasi dari suatu percakapan yang luas.

Menurut Richards dan Schmidt (1984: 127), identifikasi terhadap pasangan ujar terdekat merupakan masalah pokok dalam analisis percakapan. Dengan mengidentifikasi pola-pola urutan yang diterapkan pada ujaran-ujaran dalam interaksi tersebut, dapat diketahui koherensi suatu percakapan. Oleh Richards dan Schimdt, pasangan ujaran terdekat diartikan sebagai ujaran-ujaran yang dihasilkan oleh dua orang penutur yang berurutan, ujaran kedua diidentifikasi mempunyai hubungan dan merupakan tindak lanjut dari ujaran pertama.

Dalam pasangan ujar terdekat, ujaran kedua sebagai tanggapan atau respon dari ujaran pertama dapat dibagi menjadu dua bagian, yaitu ujaran yang disukai dan ujaran yang tidak disukai (Levinson, 1983: 336). Ujaran yang berisi permintaan misalnya, dapat memunculkan respon yang dikabulkan atau ditolak. Pengkabulan merupakan respon yang disukai sementara penolakan adalah respon yang tidak disukai. Misalnya pada ujaran:

A:
B:
C:

Bagi A, jawaban B lebih diharapkan daripada jawaban C. Jawaban B perupakan pengabulan, sementara jawaban C merupakan bentuk penolakan.

Kesantunan Berbahasa
Pengertian Kesantunan

Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingg kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".

Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagia masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

Jenis Kesantunan

Berdasarkan butir terakhir itu, kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunn itu.

Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (transparan), menampakkan bagian badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang. Betapapun mahalnya pakaian renang, tidak akan sesuai apabila dipakai dalam suatu acara resmi.

Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu.misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Mmasing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan tindakan, misalnya tidaklah santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan "jigrang" ketika mengikuti kuliah dosen,bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, nyelonong ke loket ketika yang lain sedang antre menanti giliran, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum.

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tida sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.

1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik keika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

Tatacara berbahasa seseorang diengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.

Pembentukan Kesantunan Berbahasa

Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.

Pertama, penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain' dan (bersmaan dengan itu) meminimalkan hal-hal tersebut pad diri sendiri.

Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnay, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang todak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.

Berkut ini contoh yang memperlihatkan bahwa si A mengikuti prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian kepada temannya yang baru saja lulus magister dengan predikat cumlaud dan tepat waktu, tetapi si B tidak mengikuti prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat atau rasa hebat pada diri sendiri.

A : Selamat, Anda lulus dengan predikat maksimal!
B : Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaud.

Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazimditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata "kotor" daqn "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupaka kalimat yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oelh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan berlangsung.

- Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak!
- Mohon izin, Bu, saya ingin kencing!

Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Contoh kalimat mahasiswa yang tergolong tabu di atas akan menjadi ungkapan santun apabila diubah dengan penggunaan eufemisme, misalnya sebagai berikut.

- Pak, mohon izin sebentar, sya mau buang air besar.
Atau, yang lebih halus lagi:
- Pak,mohon izin sebentar, saya mau ke kamar kecil.
Atau, yang peling halus:
- Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke belakang.

Yang perlu diingat adalah, eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, penggunaan eufemisme dengan menutupi kenyataan yang ada, yang sering dikatakan pejabat. Kata "miskin" diganti dengan "prasejahtera", "kelaparan" diganti dengan "busung lapar", "penyelewengan" diganti "kesalahan prosedur, "ditahan" diganti "dirumahkan", dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan publik. Kebohongan itu termasuk bagian dari ktidaksantunan berbahasa.

Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbcara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.

Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/bu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.

(1) Engkau mau ke mana?
(2) Saudara mau ke mana?
(3) Anda amau ke mana?
(4) Bapak mau ke mana?

Dalam konteks ini, kalimat (1) dan (2) tidak atau kurang sopan diucapkanoleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (4)-lah yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat (3) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat (4).

Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur. Percakapan via telepon antara mahasiswi dan istri dosen berikut merupakan contoh kekurangsopanan.

Mahasiswi : Halo, ini rumah Supomo, ya?
Istri : Betul.
Mahasiswi : Ini adiknya, ya?
Istri : Bukan, istrinya. Ini siapa?
Mahasiswi : Mahasiswinya. Dia kan dosen pembimbing saya. Sudah janjian dengan saya di kapus. Kok saya tunggu-tunggu tidak ada.
Istri : Oh, begitu, toh.
Mahasiswi : Ya, sudah, kalau begitu.
(Telepon langsung ditutup.)

Istri dosen tersebut menganggap bahwa mahasiswa yang baru saja bertelepon itu tidak sopan, hanya karena si mahasiswa tidak mengikuti norma kesantunan berbahasa, yaitu tidak menggunakan kata sapaan ketika menyebut nama dosennya. Bahasa mahasiswa seperti itu bisa saja tepat di masyarakat penutur bahasa lain, tetapi di masyarakat penutur bahasa Indonesia dinilai kurang (bahkan tidak) santun. Oleh karena itu, pantas saja kalau istri dosen tersebut muncul rasa jengkel setelah menerima telepon mahasiswi itu. Ditambah lagi tatacara bertelepon mahasiswi yang juga tidak mengikuti tatakram, yaitu tidak menunjukkan identitas atau nama sebelumnya dan diakhiri tanpa ucapan penutup terima kasih atau salam.

Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, oemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia kaena terbawa oleh budaya "tidak terus terang" dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburka komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya.

Aspek-aspek Non-linguistik yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa

Karena tatacara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai sistem komunikasi,maka selain unsur-unsur verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur paralinguistik, kinetik, dan proksemika. Pemerhatian unsur-unsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa.

Paralinguistik berkenaan dengan viri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa. Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara dengan temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang sopan, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya.

Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Misalnya, seorang anak diajak ibunya ke dokter, ia menjawab "Tidak, tidak mau" (verbal) sambil menggeleng-gelengkan kepala (kinesik). Akan tetapi, apabila penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur verbal itu, yaitu menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang sebagai pengganti ucapan "Hai, ayo cepat ke sini!".

Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan, cukup dengan mengerdipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan jari telunjuk secara vertikal di depan mulut agar anaknya (penerima tanda) segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah Jumat berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan kinetik ini. Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinetik atau gerak isyarat (gesture) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kesantunan berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk menciptakan ketidaksantunan berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara dengan tamunya dianggap kurang santun.

Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah proksemika, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan bwerkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan bernagkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil bwrjabat tangan dengan kedua tangannya. Si mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang bersangkuan.

Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertikarkan,maka akan terlihat janggal, bahkan dinilai tidak sopan. Mamsih banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemika ini, misalnya sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi duduk ketika berbicara dengan pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan ketika berbicara di hadapan anak buahnya, dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinetik, dan prolsemika yang sesuai dengan situasi komunikasi deperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa. Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks situasi. Yang penting, bagaimana ketiga unsur bisa menciptakan situasi komunikasi yang tidak menimbulkan salah paham dan ketersinggungan kepada yang diajak berkomunikasi.

Selain ketiga unsur di atas, hal lain yang perlu diusahakan adalah penjagaan suasana atau situasi komunikasi oleh peserta yang terlibat. Mialnya, sewaktu ada acara yang memerlukan pembahasan bersama secara serius, tidaklah sopan menggunakan telepon genggam (handphone) atau menerima telepon dari luar, apalagi dengan suara keras. Kalau terpaka menggunakan atau menerima telepon, sebaiknya menjauh dari acara tersebut atau suara diperkecil.

Kecenderungan mendominasi pembicaraan, berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika ada pertmuan dalam forum resmi, melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan pembicara, tertawa kecil atau sinis merupakan sebagian cara yang tidak menjaga suasana komunikasi yang kondusif, tenteram, dan mengenakkan, yang bisa berakibat mengganggu tujuan komunikasi.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini akan dideskripsikan fenomena-fenomena penggunaan bahasa yang muncul dalam percakapan …….. Fenomena yang menjadi fokus penelitian ini adalah topik percakapan, struktur percakapan, dan strategi kesantunan berbahasa.

Data dan Sumber Data
Data penelitian ini adalah satuan-satuan percakapan antara …………………. di Surabaya yang dipilah-pilah lagi oleh peneliti dan juga menjadi fokus pada penelitian ini adalah (1) topik percakapan, (2) Struktur percakapan, (3) strategi kesantunan berbahasa.

Sumber data penelitian ini adalah ……….. yang menyiarkan program …….

Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak dengan teknik rekam. Alat perekam yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah telepon genggam yang difasilitasi alat perekam. Teknik ini digunakan untuk pengumpulan data berupa percakapan …………

Unutk merekam data tersebut, peneliti menggunakan satu buah telepon genggam merek Sony Ericsson tipe W200i yang dilengkapi dengan fasilitas alat perekam suara dengan kapasitas rekam sesuai dengan kapasitas memori m2. Diharapkan dengan penggunaan alat perekam tersebut dapat memudahkan peneliti dalam proses pengumpulan data dikarenakan tidak serumit tape-recorder yang menggunakan kaset sebagai tambahan alat untuk merekam.

Metode Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengkerucutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Selanjutnya akan dilakukan analisis dan interpretasi secara utuh dan menyeluruh mengarah ke fokus permasalahan yang dilakukan secara induktif.

Dengan menggunakan metode tersebut akan dideskripsikan dan dijelaskan secara detil fenomena-fenomena yang menjadi fokus penelitian. Adapun langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah:

1. Memilih rekaman percakapan yang mempunyai kualitas yang jelas.
2. Mendengarkan secara teliti dan berulang-ulang percakapan yang diteliti
3. Mentranskripsi percakapan
4. Melakukan pengkodean data
5. Melakukan segmentasi-segmentasi pada bagian-bagian tertentu sesuai dengan fokus penelitian
6. Melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap fenomena-fenomena yang ditemukan
7. Melakukan interpretasi dan penarikan simpulan

2. Pengodean Data
Pengodean data dalam penelitian ini akan menggunakan pedoman sebagai berikut

R.1.1.001

R = Sumber data: Radio Komunitas U-fm
1(1) = nomor urut data rekaman
1(2) = nomor urut penelpon
001 = nomor urut ujaran

3. Segmentasi Data
Segmentasi merupakan langkah dalam menganalisis teks sebagai rekaman verbal suatu tindak komunikasi dengan melakukan pemenggalan-pemenggalan pada bagian tertentu. Dalam penelitian ini, percakapan disegmentasikan berdasarkan partisipan dan topik percakapan terlebih dahulu. Kemudian pada penggalan percakapan yang telah dibatasi oleh topik-topik tertentu tersebut disegmentasikan kembali berdasarkan pasangan ujar terdekat. Berdasarkan hasil segmentasi yang kedua ini dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan struktur percakapan dan strategi kesantunan yang digunakan oleh partisipan.

4. Interpretasi dan Penarikan Simpulan

Peneliti berusaha mengidentifikasi daya pragmatik sebuah tuturan dengan merumuskan hipotesis-hipotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan data-data yang tersedia. Bila hipotesis tidak teruji maka akan dibuat hipotesis yang baru. Seluruh proses ini terus berulang sampai akhirnya tercapai suatu pemecahan.



Daftar pustaka

Allen, Donald E & Rebecca F. Guy. 1974. Conversational Analysis: The Sociology of Talk. Paris: Mouton

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana.Penerjemah I. Soetikno. Jakarta: PT. Gramedia

Edward, John. 1985. language, Society, anda Identity. New York: Basil Blackwell.

Goody, Esther N (Ed.). 1985. Questions and Politiness: Strategy in Social Interaction. Cambridge.

Gordon, George N. 1969. The Languages of Communication. New York: Hasting House.

Hutchby, I., Wooffitt, R., 1998, Conversation Analysis, Cambridge, UK: Polity Press

Leech, Geoffery. 1993. Prinsip-prinsi Pragmatik. Penerjemah M.D.D. Oka. Jakarta: UI Press.

Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Salam, H Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Silzen, Peter. 1990. "Bahasa sebagai Ungkapan Perasaan". Makalah. Depok: Fakultas Sastra UI.

Syamsudin. 1992. Studi Wacana Teori Analisis Pengajaran. Bandung: Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.

Wardhaugh, Renold. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.