A. Pengertian emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. h. malu : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
B. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Sedangkan prestasi belajar adalah hasil belajar dari suatu aktivitas belajar yang dilakukan berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan belajar dalam bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka dalam rapor.
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (1997) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Menurut Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.
Sedangkan menurut Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali individu tidak mampu menangani masalah–masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.
Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999) bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
C. Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
1. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
2. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
3. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
4. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
5. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.
D. Perbandingan diantara IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient)
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa .
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja (Goleman, 2002 : 17).
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Pada penelitian ini, penulis mengunakan sampel pada SMU Lab School Jakarta Timur, yang berada pada peringkat 16 se-DKI, berdasarkan nilai rata-rata nilai ulangan umum murni cawu 2 kelas II tahun ajaran 2001/2002.
Dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah satu faktor penting untuk meraih prestasi akademik, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti :”Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II SMU Lab School Jakarta Timur”.
E. Tahap-tahap Perkembangan Peserta Didik
Perkembangan kemampuan peserta didik sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya baik dalam aspek kognitif maupun aspek non-kognitif melalui tahap-tahap sebagai berikut.
1. Perkembangan kemampuan peserta didik usia sampai 5 tahun (TK). Pada usia ini, anak (peserta didik) berada dalam periode “praoperasional” yang dalam menyelesaikan persoalan, ditempuh melalui tindakan nyata dengan jalan memanipulasi benda atau obyek yang bersangkutan. Peserta didik belum mampu menyelesaikan persoalan melalui cara berpikir logik sistematik. Kemampuan mengolah informasi dari lingkungan belum cukup tinggi untuk dapat menghasilkan transformasi yang tepat. Demikian juga perkembangan moral peserta didik masih berada pada tingkatan moralitas yang baku. Peserta didik belum sampai pada pemilihan kaidah moral sendiri secara nalar. Perkembangan nilai dan sikap sangat diperngaruhi oleh situasi yang berlaku dalam keluarga. Nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga akan diadopsi oleh peserta didik melalui proses imitasi dan identifikasi. Keterkaitan peserta didik dengan suasana dan lingkungan keluarga sangat besar.
2. Perkembangan kemampuan peserta didik usia 6-12 tahun (SD). Pada usia ini peserta didik dalam periode operasional konkrit yang dalam menyelesaikan masalah sudah mulai ditempuh dengan berpikir, tidak lagi terlalu terikat pada keadaan nyata. Kemampuan mengolah informasi lingkungan sudah berkembang sehingga transformasi yang dihasilkan sudah lebih sesuai dengan kenyataan. Demikian juga perkembangan moral anak sudah mulai beralih pada tingkatan moralitas yang fleksibel dalam rangka menuju ke arah pemilihan kaidah moral sendiri secara nalar. Perkembangan moral peserta didik masa ini sangat dipengaruhi oleh kematangan intelektual dan interaksi dengan lingkungannya. Dorongan untuk keluar dari lingkungan rumah dan masuk ke dalam kelompok sebaya mulai nampak dan semakin berkembang. Pertumbuhan fisik mendorong peserta didik untuk memasuki permainan yang membutuhkan otot kuat.
3. Perkembangan kemampuan peserta didik usia 13-15 tahun (SLTP). Pada usia ini peserta didik memasuki masa remaja, periode formal operasional yang dalam perkembangan cara berpikir mulai meningkat ke taraf lebih tinggi, absrak dan rumit. Cara berpikir yang bersifat rasional, sistematik dan ekploratif mulai berkembang pada tahap ini. Kecenderungan berpikir mereka mulai terarah pada hal-hal yang bersifat hipotesis, pada masa yang akan datang, dan pada hal-hal yang bersifat abstrak. Kemampuan mengolah informasi dari lingkungan sudah semakin berkembang.
F. Peranan Guru Dalam Mengembangkan Potensi Peserta Didik
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat (2) menyebutkan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Sedangkan dalam pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Bagaimana hal ini dapat diwujudkan pada suasana pembelajaran yang dapat dinikmati oleh peserta didik? Jawabannya adalah pembelajaran menggunakan pendekatan kompetensi, antara lain dalam proses pembelajaran guru :
1. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bermain dan berkreativitas,
2. Memberi suasana aman dan bebas secara psikologis,
3. Disiplin yang tidak kaku, peserta didik boleh mempunyai gagasan sendiri dan dapat berpartisipasi secara aktif
4. Memberi kebebasan berpikir kreatif dan partisipasi secara aktif. Semua ini akan memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya secara optimal. Suasana kegiatan belajar-mengajar yang menarik, interaktif, merangsang kedua belahan otak peserta didik secara seimbang, memperhatikan keunikan tiap individu, serta melibatkan partisipasi aktif setiap peserta didik akan membuat seluruh potensi peserta didik berkembang secara optimal. Selanjutnya tugas guru adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan yang maksimal.
G. Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa
Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002:273).
Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (dalam Goleman, 2002 : 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 2001:xvii).
Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses disekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman (Gottman, 2001 : 250).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah.
H. Membangun Kecerdasan Emosional Anak Sejak Usia Dini
Membangun ketrampilan emosional anak sejak dini menjadi sangat penting kalau kita kembali akan membuat karakter anak-anak kita menjadi baik. Mengapa penting ?
Orang yang tidak sependapat meragukan perlunya mengajarkan emosi kepada anak-anak. Dan mereka bertanya, Bukankah emosi datang secara alami pada anak-anak? Jawabnya adalah TIDAK!. Banyak ilmuwan percaya bahwa emosi manusiawi kita, terutama, berkembang melalui mekanisme kelangsungan hidup. Dan anak yang mempunyai kecerdasan emosional akan mendapat banyak keuntungan pada masa mendatang dalam perjalanan hidupnya. Dan kecerdasan emosional, atau EQ (Emotional Quotient), bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, melainkan pada suatu yang dahulu disebut karakteristik pribadi atau "karakter".
Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa ketrampilan EQ yang sama untuk membuat anak siswa yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya pada dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga.
Berbeda dengan IQ, EQ sulit untuk diukur, namun walaupun kita tidak dapat begitu saja mengukur bakat atau sifat-sifat khas seseorang - misalnya kemarahan, percaya diri atau sikap hormat kepada orang lain - kita dapat mengenali sifat-sifat tersebut pada anak-anak dan sepakat bahwa sifat-sifat tersebut mempunyai nilai penting.
Barangkali perbedaan yang paling penting untuk diketahui antar IQ dan EQ adalah, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih keberhasilan. Disinilah orang tua berpeluang dan mempunyai kesempatan yang tidak dapat diulang, untuk membentuk pribadi anak yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik.
Tidaklah mudah untuk membentuk pribadi dengan kecerdasan emosional yang ideal, perlu kesabaran dan ketelitian. Usaha membentuk kecerdasan emosional ini bukanlah suatu yang harus membebani orang tua dalam mendidik anaknya, dan tidak ada orang tua yang sempurna. Satu hal penting yang perlu diingat adalah bahwa satu perubahan saja dapat memberikan efek yang luar biasa pada kehidupan anak kita. Dengan kata lain, menekankan pada salah satu aspek (dalam kecerdasan emosional) akan mendatangkan efek bola salju.
Dengan melihat kualitas-kualitas yang ditunjukkan dalam kecerdasan emosional, kita akan sepakat bahwa karakter-karakter seperti itulah yang diharapkan oleh kita sebagai makhluk sosial dan dengan memiliki beberapa kualitas tersebut seorang anak atau orang dewasa akan dapat menghadapi permasalahan-permasalahan hidup yang semakin komplek dan berhubungan dengan orang lain.
Sejak Kapan Kecerdasan Emosional Perlu Ditanamkan pada Anak?
Keberhasilan kecerdasan emosional seseorang berpengaruh pada kesuksesan seseorang pada masa mendatang, juga berpengaruh pada prestasi belajar dan bekerja. Hal tersebut sudah harus menjadi kebiasaan sejak kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional sudah harus diberikan sejak usia anak mengenal tantangan di dunia luar kehidupan dirinya, yaitu sejak balita.
Mengingat semakin meluasnya informasi penting mengenai kecerdasan emosional ini, sekarang banyak lembaga pendidikan, khususnya prasekolah, kembali mengembangkan kurikulum yang menyangkut kecerdasan emosional ini. Karena kecerdasan ini berpengaruh juga pada prestasi belajar para siswa. Tetapi perlu diingat, dibandingkan pendidikan di sekolah yang hanya beberapa jam dalam sehari, akan lebih efektif lagi bila pendidikan itu diberikan juga dirumah secara habitual (kebiasaan).
Kecedasan tersebut tidak hanya dibutuhkan di dalam proses belajar di bangku sekolah atau kehidupan rumah tangga tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas sampai ke jenjang kerja. Dan apabila kita kupas satu persatu kualitas kecerdasan emosional tersebut kita akan bisa lihat manfaat dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Sampai sejauh mana kecerdasan emosional mempengaruhi keberhasilan dalam setiap tahap kehidupan sejak kecil ?… Hal itu bisa kita diskusikan selanjutnya. Dan semua itu tergantung pada kita sebagai orang tua, apakah kita sebagai orang tua peduli pada perkembangan kecerdasan emosional anak-anak kita.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Cooper Cary & Makin Peter, 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta: Arcan.
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. (2000). Working With Emotional Intelligence (terjemahan).
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, John. (2001). Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan
Emosional (terjemahan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Harmoko, R., Agung, 2005. Kecerdasan Emosional. Binuscareer.com
Winkel, WS (1997). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta : Gramedia.
Rabu, 22 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
wanjrit, keren sekali
BalasHapus