Rabu, 05 Agustus 2009

Upaya meningkatkan kemampuan menulis bahasa Inggris dengan menggunakan pendekatan e-mail untuk SMA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu dan pengetahuan sejak tahun 2000 tampak sangat pesat. Hal ini terlihat dari kemajuan dan pertumbuhan infrastruktur pembangunan dan penemuan produk teknologi dengan inovasi tinggi - seperti produk komunikasi, hiburan, dan pendidikan. Fenomena ini terjadi secara global. Oleh karena itu setiap orang harus melakukan perubahan diri untuk mengantisipsi kemajuan ini. Pemerintah Indonesia - mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah- telah melakukan pembenahan diri. Kabupaten Tanah Datar, misalnya, juga telah melakukan refleksi diri. Refleksi untuk mengantisipasi kemajuan global ini terlihat pada konsistensi Pemerintah Daerah (Pemda) Tanah Datar untuk mewujudkan masyarakat sejahtera dan berkeadilan yang ditetapkan dalam visi dan misi pembangunan Tanah Datar, dan sekaligus menjadi agenda pokok pembangunan daerah tahun 2006-2007 (Yusrizal,2008). Salah satu dari tujuan misi pembangunan Kabupaten Tanah Datar adalah “meningkatkan kualitas pendidikan”. Pemikir dan stakeholder bidang kependidikan di daerah ini telah merespon misi tersebut. Beberapa kebijakannya terlihat dalam bentuk program pemberian beasiswa pendidikan bagi siswa berprestasi dan bagi guru/pegawai untuk melanjutkan kualifikasi pendidikan strata 1 (S.1) dan S.2. Kemudian, membangun sarana learning centre, serta menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan.
Fenomena atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga terlihat dari antusias masyarakat terhadap keberadaan ICT (Information Communication Technology) atau TIK (Teknologi Informasi Komunikasi). Keberadaan alat-alat elektronik seperti; telepon, hand-phone (HP), MP3, komputer, laptop, LCD (Laser Crystal Disk), dan internet sudah menjadi fenomena sosial. Banyak remaja atau siswa memperlihatkan respon yang lebih serius terhadap produk ini. Memiliki HP, Komputer, Laptop, MP3, kemudian mengunjungi dan memanfaatkan internet sudah menjadi gaya hidup dan kebutuhan mereka. Respon remaja (siswa) terhadap produk ini lebih tinggi dari pada respon guru-guru dan orang dewasa lain. Akibatnya banyak siswa yang lebih kaya dengan wawasan informasi dan pengalaman tentang ICT dibandingkan wawasan guru-guru mereka. Akhirnya guru- guru menjadi gagap dengan teknologi.
Tidak hanya guru, sebagian siswa juga ada yang mengalami gagap teknologi. Pemerintah dengan kebijakannya menginginkan semua unsur pendidikan -guru dan murid- memiliki kepedulian untuk menguasai dan menggunakan teknologi/ informasi. Isyarat ini, misalnya, terlihat dalam uraian kurikulum Bahasa Inggris SMA (2006) yang menyatakan bahwa dalam unsur pembelajaran menulis Bahasa Inggreris mencantumkan kompetensi dasar (KD) tentang penggunaan electronic mail (e-mail). Guru dan siswa tentu harus merespon kurikulum ini. Mereka harus belajar dan menguasai e-mail dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Mereka juga harus mampu untuk mengaplikasikan dan mengakses internet untuk tujuan pendidikan, menambah wawasan, dan melakukan pembelajaran seumur hidup- life long education.
Di daerah perkotaan terlihat bahwa pemanfaatan e-mail sudah menjadi fenomena sosial. Banyak siswa, guru, dan masyarakat memiliki e-mail. Peneliti dalam preliminary observasinya menemukan bahwa internet dan e-mail sebagai benda yang tidak asing bagi siswa dan guru (khususnya di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya). Guru bahasa Inggris dan beberapa orang guru bidang studi lain juga memanfaatkan internet/ e-mail untuk tujuan pembelajaran. Pengalaman peneliti dalam pembelajaran menulis Bahasa Inggris menemukan bahwa internet dapat membuat pembelajaran lebih effektif dan optimal.
Berdasarkan hasil observasi, hanya 20% (8 siswa) dari 40 siswa yang dinilai sudah terampil dalam menulis artikel Bahasa Inggris, setelah diadakan tes awal kemampuan siswa dalam membuat kalimat bahasa Inggris (t-O).
Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan siswa dalam menulis, di antaranya ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, dan juga kosa kata yang dimiliki siswa.
Rendahnya kemampuan siswa dalam membuat kalimat bahasa Inggris ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: kurangnya latihan yang diberikan guru, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas kurang bervariasi dan kurangnya tugas yang diberikan oleh guru. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mambuat kalimat bahasa Inggris dangan menggunakan strategi pendekatan menggunakan e-mail.
Yang dimaksud kemampuan membuat kalimat bahasa Inggris sederhana adalah kemampuan siswa dalam menuangkan ide atau gagasan dalam bentuk kalimat. Dalam membuat kalimat perlu memperhatikan dua hal, yaitu subtansi dari hasil tulisan itu (ide yang diekspresikan) dan aturan struktur bahasa yang benar (gramatical form and syntactic pattern). Membuat kalimat termasuk ke dalam kegiatan untuk keterampilan menulis, karena itu membuat kalimat juga berarti mengungkapkan ide dan berkomunikasi dengan orang lain melalui simbol-simbol bahasa (Harris, 1988).
Kalimat-kalimat yang dibuat dapat berupa kalimat yang paling sederhana yang hanya mengandung dua jabatan kata dalam kalimat, yaitu subyek dan kata kerja (S + V); subyek, kata kerja dan obyek (S+V+O) atau kalimat yang paling lengkap, yaitu: subyek, kata kerja, obyek, dan keterangan (S+V+O+ Adv).

1.2. Rumusan Masalah
1. Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan e-mail dalam pembelajaran kemampuan menulis bagi siswa SMA?
2. Apakah penggunaan pendekatan e-mail dalam pembelajaran bahasa Inggris dapat meningkatkan keterampilan menulis bagi siswa SMA?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan e-mail dalam pembelajaran keterampilan menulis bagi siswa SMA;
2. Untuk memaparkan hasil keterampilan menulis siswa SMA setelah pendekatan menggunakan e-mail digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Para guru bahasa Inggris dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan menggunakan e-mail dalam pembelajaran keterampilan menulis, khususnya bagi siswa SMA;
2. Keterampilan berbicara siswa kelas X 1 SMA GIKI Muhammadiyah 2 Surabaya, yang menjadi subjek penelitian ini mengalami peningkatan yang signifikan;
3. Para guru bahasa Inggris SMA diharapkan menggunakan pendekatan menggunakan media teknologi informasi dalam menyajikan aspek keterampilan menulis, bahkan guru bahasa Inggris di tingkat satuan pendidikan yang lebih rendah, seperti SD, atau yang lebih tinggi, seperti perguruan tinggi negeri atau swasta, diharapkan juga menggunakan hasil penelitian ini dalam upaya melakukan inovasi pembelajaran Bahasa Inggris.








BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Penelitian Sebelumnya yang Relevan
Penelitian sebelumnya adalah oleh Marjohan (2006) dengan judul ”Pendekatan Internet Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Bahasa Inggris Siswa SMA Negeri 3 Batusangkar.” Temuan dari penelitian ini meliputi tiga hal, yaitu: 1) Persiapan aplikasi internet, 2) Aktivitas menulis Bahasa Inggris melalui internet, dan 3) Kualitas tulisan siswa melalui internet.
1. Persiapan aplikasi internet,
Persiapan siswa dalam aplikasi internet adalah seperti memiliki komputer/laptop (atau memakai komputer rental) dan mampu mengoperasikannya, memiliki flash dish atau CD room, dan kemudian punya kemudahan untuk menjangkau tempat mengakses internet, seperti di warnet.
Dari data lapangan diperoleh bahwa 75% responden (siswa SMA Negeri 3 Batusangkar) memiliki komputer, 8% memiliki laptop, 90% memiliki flas dish. Kemampuan mengetik dan mengoperasikan komputer/ laptop adalah syarat mutlak bagi siswa untuk bisa mengaplikasikan internet. Sedangkan memiliki flash dish dan CD room diperlukan untuk menyimpan file atau dokumen. Flas dish perlu di-scan dengan anti virus agar tidak pindah ke dalam komputer. File dan dokumen ini dapat diapload atau dikirim melalui internet. Sebaliknya berbagai fitur dalam internet- teks, foto, lagu, dan film dapat disimpan atau didownload ke dalam benda- benda ini.
Keberadaan/ jarak dan waktu yang tersedia untuk mengakses internet, juga merupakan syarat mutlak untuk dapat melakukan aplikasi internet. 70% siswa mengatakan tinggal bersama orang tua (dalam kota), mereka punya kemudahan untuk mengakses internet- warnet atau warung telekomunikasi- di kota Batusangkar, atau mengakses internet pada labor bahasa. Selanjudnya, 25% respon tinggal pada kamar kost, mereka biasanya mengakses internet dalam perhitungan keuangannya. Pengunjung internet antara siswa laki-laki dan siswa perempuan jumlahnya cukup berimbang. Ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam mengakses informasi, pendidikan dan hiburan lewat interenet.

2. Aktivitas menulis melalui interenet
Aktivitas menulis melalui internet dapat dilakukan melalui e-mail dan website pribadi atau meninggalkan pesan dan komentar pada situs/ web orang lain. Ada sejumlah mesin e-mail yang lazim digunakan oleh pengguna internet untuk keperluan berkomuniukasi yaitu seperti ; yahoo, gmail, telkom, plaza, hotmail, dan lain- lain. Sementara itu 90% responden memakai yahoo, karena mesin yahoo memiliki fitur yang lebih banyak dan lebih menarik serta dikenal lebih luas. 80% respon mengaku sudah memiliki e-mail, dan 20% memiliki e-mail tetapi penggunaannya tidak teratur. Mereka tahu cara menggunakan internet melalui guru TIK, dari buku, dari terman dan dari operator internet itu sendiri.
Umumnya responden (100%) mengungkapkan bahwa e-mail berguna untuk berkomunikasi, mengirim dan menerima pesan, serta mengirim tugas kepada guru. Seterusnya mereka 90% responden mengatakan bahwa dengan memiliki e-mail, mereka merasa lebih percaya diri, kepuasan diri dengan menggunakan teknologi modern. Memiliki e-mail berarti memiliki identitas sebagai warga dunia yang tidak gatek atau gagap teknologi (85%). Aktivitas menulis dalam Bahasa Inggris pada internet–dan juga dalam Bahasa Indonesia- adalah dalam bentuk; 1) mengirim / membalas e-mail, 2) mengapload website- friendster, blogspot, multiply, wordpress, 3) mengedit profil, serta 4) meninggalkan komentar pesan pada shouting box.

3. Kualitas tulisan Bahasa Inggeris
Menulis dalam Bahasa Inggris melalui internet biasanya dimulai saat kurikulum Bahasa Inggris- kompetisi dasar (KD) pada pembelajaran menulis- mengisyaratkan bahwa proses pembelajaran tentang e-mail. Dalam buku “English in context, developing competencies in English, for grade XII natural and social science program SMA/ MA” oleh Sundayana, et al (2005: 23-26), menjelaskan bahwa kompetensi dasar dalam menulis artikel internet, maka siswa harus mampu menulis melalui internet, yaitu menulis artikel internet dengan langkah-langkah retorika- menulis dalam bentuk deskriptif, narratif, prosedur, dan lain- lain, dalam bentuk sederhana.
Peneliti (sebagai guru Bahasa Inggris) dan siswa melakukan pembelajaran dengan KD tentang menulis menggunakan artikel internet, berdiskusi tentang dengan topik “manfaat dan pengaruh negative media massa seperti internet dan televisi. Sebelum mengakhiri pembelajaran dengan topik ini, guru memberi pekerjaan rumah, yaitu siswa harus menulis nasakah pendek tentang “advantage and disadvantage of television”. Tugas ini kemudian harus diserahkan melalui e-mail ke; marjohanusman@yahoo.com, atau marjohanusman@gmail.com
Pada kesempatan lain siswa juga diberi tugas lain- menulis pengalaman ketika berlibur- my holiday experience, atau my unforgettable experience. Mereka harus menyerahkan tugas mereka melalui e-mail ke guru Bahasa Inggris. Untuk verifikasi apakah siswa mengirim atau tidak, maka guru dapat mencek melalui e-mail, kemudian memberi komentar atas kualitas tulisan mereka.
Penilaian kualitas tulisan siswa harus merujuk pada indikator penilaian tulisan menggunakan analytical score. Brown (2004) mengatakan bahwa ada lima indikator dalam melakukan skor analisa, seperti:
1) Organisasi.
2) Isi/ Pengembangan logika.
3). Tata Bahasa.
4). Tanda baca, ejaan dan mekanik.
5). Gaya dan kualitas ungkapan.
Ke lima indikator di atas dikembangkan dari variable menulis Bahasa Inggris. Ini. Kemudian masing- masing indicator dipecah menjadi sub-indikator. Untuk lebih jelas dapat digambarkan sebagai table berikut:


2.2. Internet
Antusias dalam penggunaan komputer dan alat-alat berbasis ICT sebagai sarana hiburan dan belajar telah menjadi fenomena sosial. Rouet (1990) mengatakan bahwa ahli Microsoft- ahli komputer- telah membuat naskah atau teks-teks dalam satu computer dapat tersambung secara on-line dengan komputer-komputer lain di seluruh dunia, ini dikenal dengan istilah internet. Teks-teks atau naskah dalam internet tersebut bersifat hypertext (hiperteks). Rouet (1990) mengatakan bahwa hiperteks adalah teks-teks dalam komputer yang tersambung secara on line, dengan adanya link-link elektronik memungkinkan pengguna komputer dapat membuat hubungan dengan komputer lain di seluruh dunia. Hipertek telah menjadi dasar untuk terbentuknya “world wide web” yang pada internet di singkat menjadi “www”.
Konsep hypertext dapat dijabarkan sebagai suatu sistem penyimpanan data yang dapat diakses darimanapun sehingga navigasinya tidak berbentuk linear. Anwas (2003) mengatakan bahwa konsep hypertext dikembangkan oleh Ted Nelson melalui proyek Xanadu. Tahun 1987 dilakukan Konperensi Pertama hypertext yang didukung oleh 23 perusahaan termasuk Apple Computer, Harvard University, Xerox Parc, dan lain-lain. ,
Internet sering disebut sebagai jaringan komputer. Padahal tidak semua jaringan komputer termasuk internet. Jaringan sekelompok komputer yang sifatnya terbatas disebut sebagai jaringan lokal atau local area network (LAN). Kamarga (2002) mengatakan bahwa internet merupakan jaringan yang terdiri atas ribuan bahkan jutaan komputer, termasuk di dalamnya jaringan lokal yang berhubungan melalui saluran (satelit, telepon, kabel) dan jangkauannya mencakup seluruh dunia. Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, sifatnya bebas, karena itu tidak ada pihak yang mengatur dan memilikinya.
Penemuan internet dianggap sebagai penemuan yang cukup besar, yang mengubah dunia dari bersifat lokal atau regional menjadi global. Karena dalam internet terdapat sumber-sumber informasi dunia yang dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun melalui jaringan internet. Melalui internet faktor jarak dan waktu sudah tidak menjadi masalah. Purbo (2001) melukiskan bahwa internet telah mengubah metode komunikasi massa dan penyebaran data atau informasi secara fleksibel dan mengintegrasikan seluruh bentuk media massa konvensional seperti media cetak dan audio visual.
Internet memiliki manfaat dan peran yang besar bagi kemajuan manusia. Mc.Inerney (1998) mengatakan bahwa internet adalah alat pendidikan dan komunikasi yang sangat penting, sehingga telah menjadi populer dalam dunia pendidikan dan komunikasi. Kepopuleran internet bagi penggunanya merupakan refleksi dari sense of freedom, dengan demikian internet merupakan media demokrasi yang memberikan akses universal terhadap bermacam bentuk dan jenis informasi.

2.3. Situs Web dan E-mail
World wide web atau disingkat menjadi “www” atau sering disebut dengan web mulai diperkenalkan tahun 1990-an (http://www.livinginternet.com). Fasilitas ini merupakan kumpulan dokumentasi terbesar yang tersimpan dalam berbagai server yang terhubung menjadi suatu jaringan (internet). Dokumen ini dikembangkan dalam format hypertext, dengan menggunakan Hypertext Mark up Language (HTML).Melalui format ini dimungkinkan terjadinya link dari satu dokumen ke dokumen atau bagian lain. Selain itu fasilitas ini bersifat multimedia, yang terdiri dari kombinasi unsur teks, foto, grafika, audio, animasi , dan juga video. Dengan fasilitas ini banyak orang membuat dan membangun situs atau website mengenai sesuatu yang menarik, seperti untuk perusahaan, sekolah, tempat rekreasi, lembaga formal, informal, dan lain-lain, sebagai sarana komunikasi, diskusi dan informasi bagi publik. Setiap orang bisa memiliki website resmi dan gratis. Untuk memiliki website maka seseorang harus mendaftar dan membayar pada pemilik website tersebut.
Acklen (2000) mengatakan bahwa banyak pengguna internet -misalnya siswa dan mahasiswa- membuat website . Dewasa ini pengguna internet dapat membuat website pribadi menggunakan sarana gratis seperti “blogger atau blogspot, wordpress, multiply, gmail, friendster”. Mereka dapat belajar sendiri- mengikuti petunjuk yang ada pada fitur situs gratis internet tersebut. Misalnya membuat situs gratis dengan menggunakan sarana blogger atau blogspot.
Membuat situs pribadi dengan menggunakan blogspot, mengharuskan seseorang untuk mendaftar (sign up) dengan mencantumkan e-mail dan password. E-mail yang mudah untuk diterima blogger atau blogspot adalah e-mail dengan gmail, contoh; marjohanusman@gmail.com, Gmail adalah sarana e-mail dari google untuk bisa memasuki halaman blogspot. Oleh sebab itu pengguna harus membuat e-mail menggunakan gmail.
Cara untuk membuat e-mail dengan sarana gmail adalah sebagai berikut: Seseorang harus membuka halaman berisi kata kunci gmail (klik kata “gmail”pada google, sampai tampil halaman untuk mendaftar atau sign up. Seseorang bisa memiliki e-mail, misalnya marjohanusman@gmail.com dan password (yang harus dirahasiakan). Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa e-mail dan password ini digunakan untuk menciptakan blog atau situs dengan sarana blogspot. Langkah-langkah bagi pemula membuat situs pada blogspot atau blogger adalah sebagai berikut:
1. Tulis kata kunci “blogspot” pada google dan klik sampai keluar halaman yang memajang pesan tentang blogspot. Klik pesan yang bertuliskan “blogspot” atau “create blogger”.
2. Mendaftar atau membuat blogger- sign up- dengan menggunakan e-mail dan password dengan sarana gmail.
3. Klik tulisan “create your blog”, ikuti langkah- langkah selanjutnya.
4. Pemiliki situs gratis bias membuat nama situs tersendiri dan menyimpan sejumlah fitur seperti: naskah, foto-foto, film, dan membuat link dengan alamat portal-portal informasi, situs resmi atau situs pribadi orang.
Guru dan siswa bisa memiliki situs pribadi dengan sarana lain seperti dengan wordpress, multiply, pagi, friendster. Melalui situs gratis ini, mereka dapat menyimpan album foto, tulisan atau naskah, serta fitur lain. Sarana ini dapat digunakan sebagai untuk bertukar informasi. Guru, misalnya, dapat menyimpan naskah-naskah bahan ajar seperti perangkat pembelajaran, soal-soal ujian, dan lain-lain sejauh ia sudi untuk diakses publik dan anak didik.

2.4. Aktivitas Menulis Bahasa Inggris Dengan E-mail
Electronic mail atau e-mail mulai diperkenalkan tahun 1971 (http://www.livinginternet.com). Fasilitas ini sering disebut sebagai surat elektronik, merupakan fasilitas yang paling sederhana dan mudah digunakan. Acklen (2000) mengatakan bahwa e-mail adalah salah satu fasilitas atau aplikasi yang paling banyak digunakan di internet. E-mail merupakan alat komunikasi yang paling murah dan cepat. Dengan menggunakan e-mail, guru dan murid, dapat berhubungan satu sama lain. Mereka juga dapat berkomunikasi dengan siapa saja dengan cepat dan murah. Pengguna e-mail juga bisa mengirim file- file dalam bentuk program, gambar, grafik, dan sebagainya. Ini dapat juga dikirim ke lebih dari satu orang sekaligus pada waktu yang bersamaan. Mesin e-mail yang banyak dipakai adalah seperti “yahoo, mnsn, telkomnet, plaza, hotmail, dan lain-lain”.
Seseorang bisa membuat account atau e-mail dengan mudah. Ia, misalnya, mula-mula membuka halaman yahoo. Kalau belum memiliki e-mail (belum bisa untuk sign in atau masuk ke halaman yahoo), maka ia harus mendaftar, melakukan sign up. Sampai muncul halaman atau formulir pendaftaran- mengisi butir demi butir pendaftaran. Pengguna e-mail harus selalu mengingat alamat e-mail dan password untuk dipakai setiap kali membuka e-mail sendiri.
Mailing list merupakan salah satu fasilitas yang dapat digunakan untuk membuat kelompok diskusi atau penyebaran informasi. Cara kerja mailing list adalah pemilik e-mail dapat bergabung dalam sebuah kelompok diskusi, atau bertukar informasi yang tidak dapat diintervensi oleh orang di luar kelompoknya. Komunikasi melalui fasilitas ini sama seperti e-mail yaitu bersifat tidak langsung.
Aktivitas pelajaran menulis Bahasa Inggris melalui e-mail atau internet memberikan manfaat bagi guru-guru dan murid. Mello (1996) dalam Belisle (1996) mengatakan bahwa dengan penggunaan komputer siswa bisa menjadi problem solver dan communicator yang lebih baik. Dengan menggunakan e-mail untuk mengirim atau menerima file atau pesan satu sama lain, maka siswa akan memiliki kesempatan untuk berkolaborasi yang luas dengan teman sekelas, teman sebaya, guru-guru, dan pengguna interenet lain. Pengguna internet dapat saling membantu dalam menganalisa, dan menghasilkan informasi serta ide-ide cemerlang dengah mudah dan effisien.
Belisle (1996) mengatakan bahwa melalui akses internet atau penggunaan e-mail, maka kesadaran sosial dan percaya diri mereka akan meningkat. Pengguna internet dan e-mail dapat membebaskan diri dari keterbatasan alat- alat komunikasi tradisional- seperti pos dan mengirim pesan lewat telegram- yang sering menghambat proses korespondensi dan menulis. Penggunaan internet dan e-mail kemudian ditransformasikan untuk sarana belajar, misalnya menulis atau mengarang. Pada mulanya dalam bentuk latihan pasif menuju pola belajar aktif: berdiskusi tentang pengalaman, penjelajahan dan kesenangan. Belajar melalui internet dan e-mail dapat membuat siswa menyadari potensi diri secara penuh. Untuk ini mereka perlu diperdayakan, dan guru dan siswa berkolaborasi melalui pembelajaran berbasis ICT- internet dan e-mail.
Penggunaan e-mail dalam aktivitas menulis Bahasa Inggris dapat dilakukan melalui interenet dari labor komputer, laptop pribadi, atau melalui warung telekomunikasi (warnet). Belisle (1996) mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa penggunaan e-mail dapat memberikan manfaat bagi siswa dan guru dalam kelas Bahasa Inggris.

2.5. Standar Kompetensi Bahan Kajian Bahasa Inggris
Berkomunikasi dalam bahasa Inggris lisan maupun tulis secara lancar dan akurat sesuai dengan konteks sosialnya.

Mendengar
Memahami berbagai makna (interpersonal, ideasional, tekstual) dalam berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu.

Berbicara
Mengungkapkan berbagai makna (interpersonal, ideasional, tekstual) dalam berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu.

Membaca
Memahami berbagai makna (interpersonal, ideasional, tekstual) dalam berbagai teks tulis yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu.

Menulis
Mengungkapkan berbagai makna (interpersonal, ideasional, tekstual) dalam berbagai teks tulis yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu.



2.5.1. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris SMA dan MA
Berkomunikasi secara lisan dan tulis dengan menggunakan ragam yang sesuai secara lancar dan akurat.


Mendengar
Memahami berbagai makna (interpersonal, ideasional, tekstual) dalam berbagai teks lisan interaksional dan menolong terutama yang berbentuk deskriptif, naratif, spoof/recount, prosedur, report, news item, anekdot, eksposisi, explanation, discussion, commentary, dan review.

Berbicara
Mengungkapkan berbagai makna (interpersonal, ideasional, tekstual) dalam berbagai teks lisan interaksional dan menolong terutama yang berbentuk deskriptif, naratif, spoof/recount, prosedur, report, news item, anekdot, eksposisi, explanation, discussion, commentary, dan review.

Membaca
Memahami berbagai makna (interpersonal, ideasional, tekstual) dalam berbagai teks tulis interaksional dan menolong terutama yang berbentuk deskriptif, naratif, spoof/recount, prosedur, report, news item, anekdot, eksposisi, explanation, discussion, commentary, dan review.

Menulis
Mengungkapkan berbagai makna (interpersonal, ideasional, tekstual) dalam berbagai teks tulis interaksional dan menolong terutama yang berbentuk deskriptif, naratif, spoof/recount, prosedur, report, news item anekdot, eksposisi, explanation, discussion, commentary, dan review.

2.5.2. Kompetensi Dasar, Indikator dan Materi Pokok
2.5.2.1. Kompetensi Dasar
Mengungkapkan nuansa makna dengan langkah-langkah Pengembangan retorika yang benar di dalam teks tertulis berbentuk naratif, prosedur, spoof/ recount, report, dan news item.

2.5.2.2. Indikator
Mendemonstrasikan keterampilan dasar:
• Menggunakan tata bahasa, kosa kata, tanda baca, ejaan, dan tata tulis dengan akurat
• Menulis gagasan utama
• Mengelaborasi gagasan utama
• Menggunakan cetak mijaring yang tepat
• Membuat draft, merevisi, menyunting Menghasilkan berbagai teks terutama yang berbentuk
• Narasi: surat, cerita fiksi
• Prosedur (mis. Resep masakan)
• Recount (orientasi> peristiwa> orientasi)
• Report (laporan hasil pengamatan: fenomena yang dibahas> deskripsi yang mencakup, bagian> kualitas> kebiasaan, dsb.)
• News Items (berita, latar belakang, kejadian, sumber berita, dsb.)

2.5.2.3. Materi Pokok
Contoh ciri-ciri realisasi linguistik dalam masingmasing teks adalah sebagai berikut
Prosedur
• Adjectives, adjectival phrases and clauses
• Connectors to do with sequencse
• Nouns, noun phrases and clauses
• Quantifiers
• The simple present tense
• • Imperatives
• Verbs and verb phrases
Factual Recounts
• Adjectives, adjectival phrases, and adjective clauses
• Connectors dealing with sequences
• Nouns, noun phrases, and noun clauses
• The passive voice
• Prepositions and prepositional phrases
• Pronoun
• Quantifiers
• Tenses to express past time
• Verbs and verb phrases
Reports
• Adjectives, adjectival phrases, and adjective clauses
• Language for comparing, contrasting, defining, classifying (e.g. are called, belong to, can be classified as, are similar to)
• Pronouns: 3rd persons
• The Simple present tense
• Verbs and verb phrases.

2.6. Tabel Indikator Penilaian Tulisan
Variabel
Indikator
Sub-indikator
Menulis
1. Organisasi
1. Judul
2. Pendahuluan
3. Tubuh
4. Kesimpulan

2. Isi/ Pengembangan logika
1. Topik
2. Ide kongkrit
3. Pengembangan ide

3. Tata Bahasa
1. Bentuk Kata Kerja
2. Modal auxiliary
3. Penggunaan artikel
4. Preposisi
5. Tense sequencing
6. Klausa

4. Tanda baca, ejaan dan mekanik
1. Pemakaian Huruf besar
2. Paragraf
3. Tanda Baca
4. Ejaan

5. Gaya dan kualitas ungkapan
1. Penggunaan kosa kata
2. Struktur parallel
3, Register (penggunaan kata istilah sesuai bidang ilmu)
(Disadur dari Brown, 2004)
Tabel di atas menunjukan bahwa ada lima indikator yang harus menjadi fokus guru dalam menilai tulisan atau naskah siswa. Pada umumnya siswa tidak bermasalah dalam indikator “mengorganisir tulisan dan pengembangan ide / logika. Namun, sebagian besar siswa dalam menulis bahasa Inggris menggunakan strategi menterjemahkan ide dan fikiran dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Pengaruh tatabahasa atau pola pembentukan kalimat dalam bahasa Indonesia ikut mempengaruhi kualitas Bahasa Inggris mereka. Sebagai contoh siswa sulit membedakan pemakaian /can/ dengan /able to/ atau /could/ ,kemudian /will/ dengan /would/, membedakan kalimat /past progressive/ dengan /past perfect/, dan lain- lain.
Untuk menjaga motivasi belajar, dan minat belajar siswa maka guru tidak melakukan koreksi terlalu banyak pada tulisan mereka. Bahwa yang perlu dilakukan adalah membaca ide yang ada dalam tulisan mereka dan memberi mereka reward dan appresiasi. Pemberian reward dan appresiasi yang dikirim lewat e-mail dapat menambah motivasi menulis mereka. Refleksi itu dapat diketahui dari e-mail yang mereka kirimkan ke e-mail guru (peneliti).

2.7. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan harus didasarkan pada konsep teoretis yang mantap dan diyakni kebenarannya (Bambang Yulianto, 2009: 10). Maka dari itu hipotesis pada penelitian ini adalah:
” Dengan menggunakan pendekatan penggunaan e-mail, kemampuan menulis pada siswa kelas X 1 SMA Muhammdiyah 2 Surabaya dapat ditingkatkan.”










BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas atau PTK yang dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Menurut Arikunto (2000) bahwa penelitian deskriptif menggambarkan data dalam bentuk analisa, menggunakan persentase dan ungkapan-ungkapan sederhana. Sesuai dengan fokus penelitian bahwa subjek penelitian ini meliputi
1. Siswa sebagai sumber data yang mengeluarkan data;
2. Guru sekaligus sebagai peneliti yang akan memperoleh data awal;
3. Siswa kelas X 1 A SMA Muhammadiyah 2 Surabaya dengan jumlah siswa sebanyak 40 yang tentunya mendapatkan perlakuan yang sama dalam proses pembelajaran.
3.2. Rancangan Penelitian
Sesuai dengan karakteristik PTK, dimana diseutkan bahwa penelitian dirancang dengan menggunakan model siklus. Maka dari itu peneliti mentapkan bahwa penelitian ini akan berhasil dengan menggunakan dua siklus, dengan harapan penggunaan pendekatan penggunaan e-mail sudah menunjukkan hasil yang signifikan dengan indikator keberhasilan, tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya.
Langkah pertama dalam rancangan penelitian adalah, didasri oleh rumusan tujuan, maka dilakukan kajian teori sehingga pendekatan yang ditawarkan sebagai solusi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan aspek keterampilan menulis dalam mata pelajaran Bahasa Inggris di SMA dan teori yang berkaitan dengan pendekatan penggunaan e-mail sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya dalam meningkatkan keterampilan menulis siswa SMA.
Dari hasil kajian teori dirumuskan hipotesis tindakan, yaitu penggunaan pendekatan e-mail dapat meningkatkan keterampilan menulis siswa SMA. Berdasarkan rumusan hipotesis tindakan, dilakukan perencanaan tindakan yang akan dilakukan untuk meningkatkan keterampilan menulis bagi siswa SMA kelas X 1 SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana dengan melibatkan seorang kolaborator untuk melakukan observasi terhadap tindakan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan dan observasi, dilakukan analisis data yang diperoleh dari hasil keterampilan menulis siswa klas X 1 SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. Data tersebut dibandingkan dengan indikator keberhasilan penggunaan pendekatan pragmatik, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas X 1 SMA Muhammadiyah 2 Surabaya terampil menulis artikel berdasarkan aspek ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, dan perbendaharaan kosa kata. Bersama kolaborator, peneliti melakukan refleksi terhadap hasil analisis data. Jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang signifikan, dilakukan refleksi untuk memperbaiki langkah-langkah yang perlu dilakukan pada siklus berikutnya.
Langkah selanjutnya adalah menyusun replanning (rencana tindakan) untuk siklus II berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan bersama kolaborator. Pada siklus II, peneliti melakukan tindakan sesuai dengan replanning yang telah disusun dengan melibatkan kolaborator untuk mengamati efektivitas pelaksanaan tindakan. Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap data keterampilan menulis siswa kelas X 1 Muhammadiyah 2 Surabaya dibandingkan dengan indikator keberhasilan untuk direfleksi bersama kolaborator. Jika hasilnya belum signifikan, dilakukan replanning untuk siklus III.
Berikut adalah jadwal kegiatan penelitian yang diajukan:
No Kegiatan Waktu Keterangan
1 Tahap Persiapan:
1.1 Penyusunan silabus dan RPP
1.2 Penyusunan instrumen
1.3 Koordinasi dengan anggota 2 minggu
2 Tahap Pengumpulan Data
2.1 Pelaksanaan tindakan siklus I 1 Minggu
2.2 Analisis dan Refleksi 1 Minggu
2.3 Pelaksanaan tindakan siklus II 1 Minggu
2.4 Analisis dan Refleksi 1 Minggu
2.5 Pelaksanaan tindakan siklus III 1 Minggu
2.6 Analisis dan Refleksi 1 Minggu
3 Tahap Pengolahan dan Analisis Data
3.1 Tabulasi Data 1 Minggu
3.2 Pengolahan dan Analisis Data 1 Minggu
4 Tahap Penulisan Laporan 2 Minggu
Jumlah Minggu 12 minggu

3.3. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi (portofolio menulis Bahasa Inggris siswa). Teknik observasi digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang persiapan aplikasi internet, aktivitas menulis melalui e-mail, dan kualitas tulisan melalui e-mail.
3.3.1. Observasi (pengamatan)
Teknik ini digunakan oleh kolaborator untuk mengobservasi pelaksanaan tindakan yang dilakukan oleh peneliti.
3.3.2. Wawancara
Teknik ini digunakan oleh peneliti dan kolaborator untuk mengetahui respon siswa secara langsung dalam berbicara dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Wawancara terutama dilakukan kepada siswa yang menonjol karena kelebihan atau kekurangannya. Pelaksanaan wawancara dilakukan di luar kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pedoman wawancara.

3.3.2.3. Jurnal
Teknik ini digunakan oleh peneliti setiap kali selesai mengimplementasikan tindakan. Jurnal tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi diri bagi peneliti untuk mengungkap aspek:

1. respon siswa terhadap penggunaan pendekatan penggunaan e-mail;
2. situasi pembelajaran; dan
3. kekurang puasan peneliti terhadap pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan.

3.4. Teknik Analisis Data
Data analisis dilakukan dengan menggunakan model analisis deskriptif yang di dalamnya melibatkan kegiatan pengumpulan data. Penyajian data, reduksi data dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1984). Untuk menjamin keabsahan data, peneliti menggunakan teknik validasi, sebagaimana dikatakan oleh Gay dan Airisian (2000) bahwa teknik validasi adalah mencari keteraturan data dengan membandingkan perbedaan data dengan eksistensi data atau fakta di lapangan.
Data penelitian juga dianalisis dengan menggunakan teknik tabulasi data secara kuantitatif berdasarkan hasil tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus. Hasil tindakan pada setiap siklus dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui persentase peningkatan keterampilan siswa kelas X 1 SMA Muhammadiyah 2 Surabaya dalam menulis artikel bahasa Inggris melalui media e-mail.
Daftar Pustaka
Acklen, Laura.(1999).Belajar Sendiri Dalam 10 Menit Microsoft Office
2000.Yogyakarta: Andi.

Anwas, Oos M.(2003). Model Inovasi e-Learning Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. ”Jurnal Teknodik e-Learning”. Jakarata: Depdiknas, Pustekom.
Arikunto, Suharsimi. (2000). Manajemen Penelitian. (edisi ke 5). Jakarta: Rineka Cipta.
Belisle, Ron. (1996). E-mail Activities in the ESL Writing Class, The Internet TESL Journal , vol 11, no 12 (http://itselj.org.writingclass/html ). akses, 12 November 2007).

Brown, H.Douglas.(2004). Language Assessment. Principles and classroom Practice. New York: Longman.

BSNP.(2006). Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Mata
Pelajaran:Bahasa Ingris SMA/MA. Jakarta: Depdiknas

Gay, L.R and Pieter Airisian. (2000). Educational Research: Competencies for Analysis and Application (6th Ed). New Jersey: Prentice Hall.

Kamarga, Hanny.(2002).Belajar Sejarah Melalui E-learning: Alternative Mengakses Sumber Informasi Kesejarahan.Jakarta: Inti Media.

McInerney, Denis M and McInerney, Valentina. 1998. Educational Psychology: Constructing Learning. New York: Prentice Hall.

Miles, Matthew B and Huberman, A. Michael. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. London: Sage Publications.

Purbo, Onno W (2001).Masyarakat Pengguna Internet di Indonesia. Availavble at: (http://geocities.com/intercent/project/html) retrived Novemver 4th 2002.

Rouet, J.F. (1990). Intearctive Text Processing by Inexperiencede (Hyper) Reader. In A.Rizk, N. Streitz And J Andre (eds). Hypertext: Concept, Systems, and aplication. Cambridge: Cambridge University Press.

Yusrizal. (2008). Konsistensi Mewujudkan Masyarakat Sejahtera dan Berkeadilan . Batusangkar: Pemda Tanah Datar. (http://tanahdatar.go.id/index.php ,akses, 12 Desember 2008).

Rabu, 22 Juli 2009

A. Pengertian emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :

a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. h. malu : malu hati, kesal

Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
B. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Sedangkan prestasi belajar adalah hasil belajar dari suatu aktivitas belajar yang dilakukan berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan belajar dalam bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka dalam rapor.
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (1997) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Menurut Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.
Sedangkan menurut Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali individu tidak mampu menangani masalah–masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.
Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999) bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
C. Faktor Kecerdasan Emosional

Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
1. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

2. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

3. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

4. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

5. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.

D. Perbandingan diantara IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient)

Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa .
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja (Goleman, 2002 : 17).
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Pada penelitian ini, penulis mengunakan sampel pada SMU Lab School Jakarta Timur, yang berada pada peringkat 16 se-DKI, berdasarkan nilai rata-rata nilai ulangan umum murni cawu 2 kelas II tahun ajaran 2001/2002.
Dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah satu faktor penting untuk meraih prestasi akademik, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti :”Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II SMU Lab School Jakarta Timur”.

E. Tahap-tahap Perkembangan Peserta Didik

Perkembangan kemampuan peserta didik sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya baik dalam aspek kognitif maupun aspek non-kognitif melalui tahap-tahap sebagai berikut.
1. Perkembangan kemampuan peserta didik usia sampai 5 tahun (TK). Pada usia ini, anak (peserta didik) berada dalam periode “praoperasional” yang dalam menyelesaikan persoalan, ditempuh melalui tindakan nyata dengan jalan memanipulasi benda atau obyek yang bersangkutan. Peserta didik belum mampu menyelesaikan persoalan melalui cara berpikir logik sistematik. Kemampuan mengolah informasi dari lingkungan belum cukup tinggi untuk dapat menghasilkan transformasi yang tepat. Demikian juga perkembangan moral peserta didik masih berada pada tingkatan moralitas yang baku. Peserta didik belum sampai pada pemilihan kaidah moral sendiri secara nalar. Perkembangan nilai dan sikap sangat diperngaruhi oleh situasi yang berlaku dalam keluarga. Nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga akan diadopsi oleh peserta didik melalui proses imitasi dan identifikasi. Keterkaitan peserta didik dengan suasana dan lingkungan keluarga sangat besar.
2. Perkembangan kemampuan peserta didik usia 6-12 tahun (SD). Pada usia ini peserta didik dalam periode operasional konkrit yang dalam menyelesaikan masalah sudah mulai ditempuh dengan berpikir, tidak lagi terlalu terikat pada keadaan nyata. Kemampuan mengolah informasi lingkungan sudah berkembang sehingga transformasi yang dihasilkan sudah lebih sesuai dengan kenyataan. Demikian juga perkembangan moral anak sudah mulai beralih pada tingkatan moralitas yang fleksibel dalam rangka menuju ke arah pemilihan kaidah moral sendiri secara nalar. Perkembangan moral peserta didik masa ini sangat dipengaruhi oleh kematangan intelektual dan interaksi dengan lingkungannya. Dorongan untuk keluar dari lingkungan rumah dan masuk ke dalam kelompok sebaya mulai nampak dan semakin berkembang. Pertumbuhan fisik mendorong peserta didik untuk memasuki permainan yang membutuhkan otot kuat.
3. Perkembangan kemampuan peserta didik usia 13-15 tahun (SLTP). Pada usia ini peserta didik memasuki masa remaja, periode formal operasional yang dalam perkembangan cara berpikir mulai meningkat ke taraf lebih tinggi, absrak dan rumit. Cara berpikir yang bersifat rasional, sistematik dan ekploratif mulai berkembang pada tahap ini. Kecenderungan berpikir mereka mulai terarah pada hal-hal yang bersifat hipotesis, pada masa yang akan datang, dan pada hal-hal yang bersifat abstrak. Kemampuan mengolah informasi dari lingkungan sudah semakin berkembang.

F. Peranan Guru Dalam Mengembangkan Potensi Peserta Didik

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat (2) menyebutkan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Sedangkan dalam pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Bagaimana hal ini dapat diwujudkan pada suasana pembelajaran yang dapat dinikmati oleh peserta didik? Jawabannya adalah pembelajaran menggunakan pendekatan kompetensi, antara lain dalam proses pembelajaran guru :
1. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bermain dan berkreativitas,
2. Memberi suasana aman dan bebas secara psikologis,
3. Disiplin yang tidak kaku, peserta didik boleh mempunyai gagasan sendiri dan dapat berpartisipasi secara aktif
4. Memberi kebebasan berpikir kreatif dan partisipasi secara aktif. Semua ini akan memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya secara optimal. Suasana kegiatan belajar-mengajar yang menarik, interaktif, merangsang kedua belahan otak peserta didik secara seimbang, memperhatikan keunikan tiap individu, serta melibatkan partisipasi aktif setiap peserta didik akan membuat seluruh potensi peserta didik berkembang secara optimal. Selanjutnya tugas guru adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan yang maksimal.

G. Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa

Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002:273).
Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (dalam Goleman, 2002 : 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 2001:xvii).

Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses disekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman (Gottman, 2001 : 250).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah.

H. Membangun Kecerdasan Emosional Anak Sejak Usia Dini

Membangun ketrampilan emosional anak sejak dini menjadi sangat penting kalau kita kembali akan membuat karakter anak-anak kita menjadi baik. Mengapa penting ?
Orang yang tidak sependapat meragukan perlunya mengajarkan emosi kepada anak-anak. Dan mereka bertanya, Bukankah emosi datang secara alami pada anak-anak? Jawabnya adalah TIDAK!. Banyak ilmuwan percaya bahwa emosi manusiawi kita, terutama, berkembang melalui mekanisme kelangsungan hidup. Dan anak yang mempunyai kecerdasan emosional akan mendapat banyak keuntungan pada masa mendatang dalam perjalanan hidupnya. Dan kecerdasan emosional, atau EQ (Emotional Quotient), bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, melainkan pada suatu yang dahulu disebut karakteristik pribadi atau "karakter".
Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa ketrampilan EQ yang sama untuk membuat anak siswa yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya pada dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga.

Berbeda dengan IQ, EQ sulit untuk diukur, namun walaupun kita tidak dapat begitu saja mengukur bakat atau sifat-sifat khas seseorang - misalnya kemarahan, percaya diri atau sikap hormat kepada orang lain - kita dapat mengenali sifat-sifat tersebut pada anak-anak dan sepakat bahwa sifat-sifat tersebut mempunyai nilai penting.
Barangkali perbedaan yang paling penting untuk diketahui antar IQ dan EQ adalah, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih keberhasilan. Disinilah orang tua berpeluang dan mempunyai kesempatan yang tidak dapat diulang, untuk membentuk pribadi anak yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik.
Tidaklah mudah untuk membentuk pribadi dengan kecerdasan emosional yang ideal, perlu kesabaran dan ketelitian. Usaha membentuk kecerdasan emosional ini bukanlah suatu yang harus membebani orang tua dalam mendidik anaknya, dan tidak ada orang tua yang sempurna. Satu hal penting yang perlu diingat adalah bahwa satu perubahan saja dapat memberikan efek yang luar biasa pada kehidupan anak kita. Dengan kata lain, menekankan pada salah satu aspek (dalam kecerdasan emosional) akan mendatangkan efek bola salju.
Dengan melihat kualitas-kualitas yang ditunjukkan dalam kecerdasan emosional, kita akan sepakat bahwa karakter-karakter seperti itulah yang diharapkan oleh kita sebagai makhluk sosial dan dengan memiliki beberapa kualitas tersebut seorang anak atau orang dewasa akan dapat menghadapi permasalahan-permasalahan hidup yang semakin komplek dan berhubungan dengan orang lain.

Sejak Kapan Kecerdasan Emosional Perlu Ditanamkan pada Anak?
Keberhasilan kecerdasan emosional seseorang berpengaruh pada kesuksesan seseorang pada masa mendatang, juga berpengaruh pada prestasi belajar dan bekerja. Hal tersebut sudah harus menjadi kebiasaan sejak kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional sudah harus diberikan sejak usia anak mengenal tantangan di dunia luar kehidupan dirinya, yaitu sejak balita.
Mengingat semakin meluasnya informasi penting mengenai kecerdasan emosional ini, sekarang banyak lembaga pendidikan, khususnya prasekolah, kembali mengembangkan kurikulum yang menyangkut kecerdasan emosional ini. Karena kecerdasan ini berpengaruh juga pada prestasi belajar para siswa. Tetapi perlu diingat, dibandingkan pendidikan di sekolah yang hanya beberapa jam dalam sehari, akan lebih efektif lagi bila pendidikan itu diberikan juga dirumah secara habitual (kebiasaan).
Kecedasan tersebut tidak hanya dibutuhkan di dalam proses belajar di bangku sekolah atau kehidupan rumah tangga tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas sampai ke jenjang kerja. Dan apabila kita kupas satu persatu kualitas kecerdasan emosional tersebut kita akan bisa lihat manfaat dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Sampai sejauh mana kecerdasan emosional mempengaruhi keberhasilan dalam setiap tahap kehidupan sejak kecil ?… Hal itu bisa kita diskusikan selanjutnya. Dan semua itu tergantung pada kita sebagai orang tua, apakah kita sebagai orang tua peduli pada perkembangan kecerdasan emosional anak-anak kita.












DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Cooper Cary & Makin Peter, 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta: Arcan.
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. (2000). Working With Emotional Intelligence (terjemahan).
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, John. (2001). Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan
Emosional (terjemahan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Harmoko, R., Agung, 2005. Kecerdasan Emosional. Binuscareer.com

Winkel, WS (1997). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta : Gramedia.

Senin, 20 Juli 2009

Perilaku dan Aplikasi

Contoh 1:

Tuan,
Apa yang dilakukan para guru sekarang? Mereka sepertinya tidak tahu apa yang dilakukan pertama kali dalam mengajar penglafalan. Salah satu penglafalan yang membuatku sakit hati adalah ketika orang-orang mengatakan ”Lore” bukannya ”Law”. Di radio dan tv Lore and Order menggantikan Law and Order di semua ucapan penyiar. Bisakah orang-orang melihat bahwa Lore dan Law, Saw dan Soar adalah kata yang berbeda?

Masyarakat yang mempunyai pandangan kuat mengenai bagaimana ”words” atau kata seharusnya seharusnya diucapkan diilustrasikan dengan bagus pada bab ini. Permasalahan pada apakah ”r” diucapkan atau tidak diucapkan dalam bahasa Inggris adalah sebuah contoh bagus dari berubah-ubahnya fitur-fitur linguistik yang menarik perhatian lebih, seperti yang kita temui pada bab 9 dan 10. tidak ada pada hakekatnya baik dan buruk tentang pengucapan [r]. Namun, dalam beberapa komunitas hal ini dikaitkan dengan sebuah contoh ”good speech” (cara pengucapan yang bagus) sedangkan pada komunitas lainnya, pengucapan [r] dikaitkan dengan lucu, kasar, dan sebagai bukti akan kurangnya pendidikan. Akhirnya, perilaku terhadap bahasa mencerminkan sikap pada pengguna dan kegunaan dari bahasa, yang akan kita lihat pada bab ini. Tidak ada pada hakekatnya indah atau benar pada suara tertentu. ”Swallow” (menelan) contohnya, mempunyai konotasi positif pada saat diasosiasikan dengan ”Bird” (burung), tetapi jika kata mendefinisikannya dengan ”action of chewing” (mengunyah) maka asosiasinya akan berubah, dan juga penafsiran pada kata ”beauty” (indah). Maka konteks adalah segalanya.
Beberapa kritik dari pengucap [r] –less (tanpa huruf ’r’) bahwa mereka akan merugikan pengguna bahasa pada area membaca pada umumnya. Mereka berpendapat bahwa masyarakat yang tidak membedakan pengucapan ’lore’ dan ’law’ atau ’sword’ dan ’sawed’ akan menyimpan permasalahan kebutaan huruf kedepannya. Sangatlah mudah untuk menemui ketakutan tersebut. Sementara itu, pembedaan pengucapan bisa menjadi sebuah alat bantu dalam membedakan makna yang tidak perlu. Masyarakat masih berupaya untuk membedakan arti dari ’son’ (anak) dan ’sun’ (matahari), ’break’ (jeda) dan ’brake’ (rem), dan ’write’ (tulis) dengan ’right’ (kanan/benar) terlepas dari fakta bahwa semuanya bersuara sama dalam bahasa Inggris. Tetapi argumen jenis ini, tersambung dalam sikap linguistik yang didasari oleh tanggapan sosial tentang seringnya pembelajaran paslu, yang mengejutkan justru tersebar luas.

Contoh 2:

’Danish’ bukanlah sebuah bahasa, melainkan sebuah penyakit tenggorokan, begitulah tuilisan responden asal Norwegia dalam balasannya kepada kuisoner di tahun 1950an yang menanyai pendapat orang-orang Skandinavia aka hubungan kualitas estetis dari bahasa Swedia, Denmark, dan Norwegia

hasil dari kuisoner menempatkan bahasa Swedia ditempat pertama dan bahasa Denmark di urutan terbawah. Hasil-hasil ini mencerminkan tidak banyaknya hubungan kualitas estetis dari ketiga bahasa sebagai keuntungan politik dari ketiga negara diasosiasikan satu sama lain. Swedia pada saat itu tidak diragukan lagi sebagai pemimpin politik, sementara Denmark – bekas penguasa – mempunyai peran yang kurang dalam politik. Perilaku masyarakat terhadap Swedia dan Denmark merefleksikan politik Skandinavia daripada bahasan mengenai hakikat fitur-fitur linguistik dari bahasa. Dengan bangkitnya pengaruh Denmark melalui keanggotaannya di Komunitas Ekonomi Eropa, seseorang mungkin akan mengaharapkan hasil yang berbeda dari kuisoner yang sama di tahun 1990an.
Telah disarankan bahwa intelligibility juga dipengaruhi oleh perilaku, jadi masyarakat menemukannya lebih mudah untuk mengerti bahasa dan dialek yang diucapkan oleh orang yang disuka atau dikaguminya. Sebuah pendapat yang hampir sama, paling tidak unuk mayoritas anggota kelompok, adalah masyarakat lebih termotivasi, dan secara konsekuen lebih-lebih sukses, dalam pemerolehan bahasa kedua ketika mereka merasakan hal yang positif terhadap mereka yang menggunakannya. Jelas, perilaku ke bahasa mempunyai implikasi yang menarik, keduanya untuk guru politik dan bahasa.
Masyrakat pada umumnya tidak menahan pendapat mengenai bahasa dalam sebuah kebingungan. Mereka mengembangkan sikap terhadap bahasa dimana merelfeksikan pandangan-pandangan mereka mengenai mereka yang mengjarkan bahasa tersebut, dan juga konteks dan fungsi dengan dimana mereka diasosiasikan. Ketika masyarakat mendengarkan aksen atau bahasa yang belum pernah didengar sebelumnya, maka penaksiran mereka akan benar-benar acak. Tidak ada pola. Dalam kata lain, tidak ada persetujuan yang bersifat universal tentang bahasa mana yang tedengar lebih indah dan mana yang jelek, walaupun ada beberapa yang yakin bahwa beberapa bahasa bersifat lebih indah dibandingkan yang lainnya.
Sikap atau perilaku terhadap bahasa sangat kuat dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik, sebagaimana yang telah dibuktikan dalam diskusi pada bab 4 dan 5. Para perencana bahasa harus mengambil catatan atau perhitungan dari sikap atau perilaku ketika memilih mereka memilih sebuah bahasa yang cocok untuk perkembangan sebagai bahasa yang resmi dan nasional. Perilaku atau sikap terhadap pidgin dan creol contohnya, merupakan halangan utama pada saat ini terhadap kemunculan dan penerimaannya sebagai bahasa yang resmi atau untuk digunakan di sekolah. Di beberapa negara, status resmi diberikan kepada bahasa yang tidak populer telah menimbulkan permasalahan. Telah terjadi kekacauan di Belgia dan India untuk permasalahan bahasa, dan terjadi pengeboman-pengeboman dan pemusnahan tanda jalan yang berbahasa Inggris mengilustrasikan kekuatan dari perasaan masyarakat mengenai posisi dari Inggris di Wales. Di Quebeck ditemukan pada tahun 1960an bahwa orang-orang Prancis-Kanada memiliki kecenderungan untuk menilai dengan positif suara dari orang-orang Inggris-Kanada yang berbentuk kaset, lebih intelegensi, berkompeten dan mudah disukai, daripada suara dari Prancis-Kanada. Ditahun 1970an, walau bagaimanapun, penilaian dari suara Prancis-Kanada lebih tinggi, dimana mencerminkan meningkatnya kesadaran politik, dan menigkatnya penghargaan terhadap diri sendiri pada saat itu. Sikap atau perilaku bahasa sangat sensitif sifatnya terhadap perubahan keadaan sosial dan politik.
Sikap atau perilaku bahasa bisa mempunyai sebuah pengaruh yang luar biasa di beberapa wilayah seperti pendidikan. Arugmen dan pendapat di Somalia mengenai tulisan yang mana yang seharusnya digunakan untuk menulis bahasa Somali, bahasa Cushtic, telah menunda kemajuan dalam pengembangan pemberantasan jumlah penyandang buta huruf dalam beberapa dekade. Faktor yang paling mempengaruhi dalam perdebatan ini adalah bukan pada manfaat yang intrinsik yang terdapat pada tulisan alternatif lainnya, tetapi lebih kepada sikap atau perilaku masyarakat terhadap pembicara dan penulis bahasa Arab dan Inggris dan pada fungsi-fungsi dimana bahasa-bahasa tersebut digunakan. Para pendukung dari tulisan bahasa Arab menunjuk pada prestis, bersifat agama, dan kepentingan budaya Arab untuk masyarakat Somalia. Telah diakui bahwa beberapa dari puisi agama telah ditulis menggunakan bahasa Somalia dalam bentuk bahasa Arab yang mempunyai semangat komposisi-komposisi yang sama oleh orang-orang Arab. Mereka yang menganjurkan untuk menggunakan latin Alphabet menunjuk pada kebergunaannya dan akses yang mengarah kepada pemerian informasi dan teknologi. Sebuah usaha dalam mencangkokkkan sebuah tulisan, yang dikenal sebagai tulisan Osmania setalah penemunya Osman Yusuf, telah berusaha, tetapi gagal untuk mengejarnya. Akhirnya, di tahun 1973 tulisan latin diadopsi dan diberi status resmi. Beberapa melihat hal ini sebagai sebuah keberhasilan untuk efisiensi diatas sentimen. Yang lain memandang hal ini sebagai sebuah keputusan yang bersifat birokratis daripada sebuah tulisan yang mempunyai latar belakang budaya. Sikap atau perilaku terhadap bahasa pastilah memberikan kontribusi terhadap tahun-tahun terjadinya kebuntuan dan kurangnya kemajuan dalam memilih sebuah tulisan di Somalia.

Perilaku bahasa bisa memberikan dampak yang signifikan di beberapa area, seperti pendidikan. Perdebatan-perdebatan di Somalia mengenai tulisan mana yang seharusnya dipakai oleh masyarakat Somalia, bahasa Cushitic, perkembangannya ditunda dengan bertambahnya angka buta huruf dalam beberapa dekade. Faktor-faktor yang paling penting dalam perdebatan ini adalah bukan kegunaan intrinsik dari naskah alternatif, tetapi lebih kepada perilaku masyarakat kepada penutur dan penulis bahasa Arab dan bahasa Inggris dan fungsi-fungsinya dimana kapan bahasa-bahasa tersebut digunakan. Pendukung dari naskah basaha Arabmerujuk ke arah prestis, peranan dalam agama, dan kepentingan budaya dari bahasa Arab untuk masyarakat Somalia. Hal tersebut didukung oleh klaim bahwa beberapa dari pusis religius ditulis oleh orang Somalia dalam bahasa Arab. Untuk mereka yang lebih memilih penggunaan latin Alphabet, menekankan kepada kegunaannya dan terlebih kepada akses yang bisa mempermudah dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Pada akhirnya, di tahun 1973 sebuah naskah latin alphabet diadopsi dan diberikan status resmi. Beberapa melihat hal ini sebagai kemenangan atas efisiensi, sementara beberapa yang lainnya menganggap hal ini sebagai keputusan birokratis ketimbang mempertahankan naskah yang bersifat budaya. Perilaku terhadap bahasa jelas memberi kontribusi terhadap berhentinya perkembangan dalam sebuah naskah di Somalia.

PRESTIS YANG JELAS DAN TERSEMBUNYI
Kelas elokusi di Belfast dengan muridnya yang baru saja membaca puisi menggunakan pelafalan lokal Belfast seperti ”Jane”. Guru elokusi merespon sebagai berikut:

Guru : bagaimana kamu mengucapkan namanya? (Jane)
Murid : Jane
Guru : bagaimana kamu mengingatnya?
Murid : ”The Rain in Spain falls mainly on Plain.”

Prestis merupakan konsep yang licin. Arti dari prestos yang jelas adalah pembuktian diri sendiri. Variasi standar di dalam sebuah komunitas mempunyai prestos yang jelas. Penutur yang menggunakan variasi standar mempunyai nilai tinggi dalam skala status pendidikan dan pekerjaan, dan penilaian ini mencerminkan asosiasi dari variasi cara berbicara mereka, dimana umumnya dianggap sebagai “cara terbaik” dalam berbicara di dalam sebuah komunitas. Hal ini dengan jelas disukai dan umumnya dikenal sebagai sebuah model dari tuturan yang ”bagus” oleh semua kalangan dari komunitas, tanpa memperhatikan bagaimana cara mereka berbicara. Kenyataannya hal ini telah dianjurkan bahwa persetujuan ini mengenai variasi standar atau aksen terbaik adalah apa yang mengidentifikasi sebuah kelompok masyarakat.
Prestos yang tersembunyi adalah sebaliknya, adalah sebuah istilah ganjil dimana bisa dimaksudkan sebagai peranan dua ide yang berkontradiksi. Bagaimana bisa sesuatu mempunyai prestis jika nilai-nilainya tidak dikenal secara publik?. Istilah prestis tersembunyi telah banyak dighunakan, bagaimanapun, untuk mengarah kepada sikap yang positif terhadap vernakular atau variasi bahasa non-standar. Jelas sekali variasi tersebut dinilai atau mereka akan berhenti menggunakannya. Masih saja, ketika masyarakat ditanyai untuk berkomentar, mereka jarang sekali mengaku untuk menilai mereka (paling tidak terhadap orang asing).
Di beberapa sekolah di Britania dan di New Zealand juga, anak-anak diajarkan untuk berbicara RP dalam kelas elokusi, tetapi mereka tidak akan pernah mengerti jika menggunakannya di luar kelas. Aksen lokal adalah satu-satunya cara untuk berkomunikasi dengan teman, teman kerja dan keluarga. Hl tersebut menunjukkan identitas dan solidaritas dari kelompok. Tidak kaget, banyak orang tidak mau terdengar seperti Margaret Tatcher, Pangeran Charles atau penyiar BBC.
Ada juga sebuah kelompok dalam jumlah yang besar tidak memperhatikan bahwa mereka tidak berbicara dengan aksen yang dikaguminya dan menganggapnya sebagai standar. Kebanyakan orang akan terkejut ketika mereka mendengar suara mereka sendiri dalam bentk rekaman. Beberapa dari keterkejutan ini biasanya berhubungan dengan pengalafalan yang mereka dengar lalu digunakannya.
Ada sebuah cerita menganai seorang public speaker dalam sebuah konferensi, di dalam pidatonya mengenai pertentangan ketidak teraturan dan pengucapan yang buruk seperti penggunaan ”gonna” untuk ”going to” dia mengakhirinya dengan:

”Dan saya memebritahukan kepada anda saya percaya bahwa pengalafalan yang tercela ini harus ditentang oleh semua guru dan menghilangkannya secara total, dan saya akan sangat ”damn” (kutukan) yakin bahwa tidak ada murid di kelas saya yang menggunakannya.”

Seperti mengutuk mulutnya sendiri dengan sebuah lafal yang sudah dikenal, dan dia pun malu dan larut dalam tawa dari audiensinya. Hampir sama, dalam contoh 4

Contoh 4:
Kasus dari Debbie S dan Nyonya S berakhir dalam catatan yang tidak menyenangkan. Di dalam diskusi mengenai ’r’ baik ibu dan anak bersikeras bahwa mereka selalu melafalkan ’r’ mereka..... mereka mengolok pembicara 2 (salah satu dari pembicara dalam rekaman yang yang diputarkan untuk mereka) untuk menghilangkan satu ’r’ dan mereka tidak dapat percaya kalau mereka membuat kesalahan oleh mereka sendiri. ”Dengan tidak bijak saya memutar kembali rekaman dimana Mollie S mengucapkan ’strawberry shortcake, cream on top, tell me the name of my sweetheart’. Dia bisa mendengarkan kurangnya ’r’ dalam ucapannya tetapi setealah beberapa waktu berpikir dia menjelaskan situasi sebagai sebuah pemindahan psikologis, dia membayangkan dirinya sendiri dalam masa kecil, dan menggunakan bentuk penglafalan kekanak-kanakan. Lalu saya memutar kembali bagian ujaran yang berhati-hati, diskusi mengenai common sense, dan juga bacaan Debbie tentang teks standar. Ketika nyonya S dan anak perempuannya pada akhirnya menrima fakta bahwa mereka secara teratur mengucapkan ’r’ dengan cara mereka sendiri”.

Realisasi bahwa kita tidak selalu berbicara seperti yang kita bayangkan bisa memberikan bukti sebagaimana sebuah surat keberatan untuk tidak terlalu cepat dalam menghakimi ujaran orang lain.
Conotoh 5:
Ray adalah pemuda asal West Indian yang memilikidaftar-daftar linguistik termasuk Patois sebagaimana juga Inggris standar dengan aksen London. Dia tidak mempunyai bayangan mengenai pandangan gurunya mengenai Patois, variasi bahasa yang digunakannya dengan temannya. ”Dia (guru) lebih suka kita tidak mengucapkan apapun jika kita tidak menggunakan bahas Inggris yang layak. Dan juga untuk Patois lainnya dia akan marah jika dia mendengarkan kita menggunakannya di sekolah, dia menyebutnya jorok, ujaran yang jelek.”

Creole milik Jamaika, atau Patois yang sudah didiskusikan pada bab 2 dan 8 adalah sebuah contoh yang bagus dari sebuah kode yang bertahan karena bahasa tersebut dinilai sebagai tanda dari identitas oleh penggunanya. Kita bisa menyebut hal tersebut mempunyai prestis yang tersembunyi semenjak sedikit sekali kulit hitam mengakui kepada orang lain bahwa keahlian dalam Patois sangat dikagumi, khususnya diantara anak-anak muda Britania yang berkulit hitam. Sebagaimana contoh 5 mengindikasikan adanya perilaku/sikap yag resmi terhadap bahasa, bahkan di tahun 1980an dianggap sebagai perbuatan tercela terhadap pengurangan bentuk bahasa Inggris yang dianggap sebagai penghalang kemajuahn pendidikan dari anak-anak Jamaika di Britania. Guru-guru telah mendeskripsikan bahasa yang dipakai muridnya yang berasal dari West Indian sebagai ”kebayi-bayian”, ”kurang berhati-hati”, dan ”jorok”, dan juga ”kurangnya tata bahasa yang layak” persis seperti cara mereka berjalan. Faktanya Patois adalah sebuah variasi bahasa dengan tata bahasa yang kompleks, pengucapan yang khusus, dan beberapa pokok perbendaharaan kata yang khusus yang kita lihat di bab 8.
Secara jelas sikap yang negatif terhadap Patois mencerminkan tekanan posisi sosial kepada masyarakat West Indian di Britania terhadap fitur-fitur dalam bahasa itu sendiri. Pindahan asal West Indian yang pergi ke Britania yang pergi ke Britania selama periode 1950an dan 1960an dengan sebuah sikap umum yang positif untuk mencari pekerjaan.

SOSIOLINGUISTIK DAN PENDIDIKAN
Dialek Vernakular dan Kerugan Edukasional

Banyak ahli sosiolinguis ikut serta dalam perdebatan publik ini mengenai implikasi edukasional dari penelitian mereka. Contoh yang paling dikenal adalah kemungkinan pada bagian dimana ahli sosiolinguistik mendebatkan penggunaan bentuk dialek vernakular adalah mengalami kekurangan secara linguistik.
Hal ini telah dibuktikan dalam beberapa kesempatan dibanyak komunitas bahasa dengan anak-anak kelas menengah yang melakukannya lebih baik di sekolah dari pada anak-anak yang berasal dari kelas pekerja. Mereka mendapatkan hasil ujian yang lebih bagus. Hal senada adalah, walaupun ada beberapa ekspektasi bahwa anak-anak yang berasal dari budaya yang lebih modern pada umumnya mempunyai posisi yang lebih bagus di sekolah ketimbang mereka yang berasal dari kelompok minoritas. Dalam komunitas yang berbahasa Inggris fakta-fakta tersebut seringkali disalah hubungkan dengan fakta bahwa anak-anak dari kelompok yang sukses lebih cenderung menggunakan bentuk dialek standar – mereka menggunakan standar bahasa Inggris – sementara ujaran yang berasal dari kelompok yang kurang sukses seringkali mengikut sertakan bentuk vernakular dengan frekuensi yang sering.
Hal tersebut adalah sebuah wilayah dimana beberapa sosiolinguis telah berusaha dengan keras untuk menjadi berguna. Beberapa telah mengambil penelitian untuk menginvestigasi tingkatan dimana penggunaan dari bentuk vernakular atau variasi khusus seperti Patois di Britania bisa berperan sebagai pembatas dalam komunikasi antara guru dan murid. Yang lainnya telah menginterpretasikan hasil dari penelitian sosiolinguistik untuk guru.dan mempersembahkan saran dan rekomendasi untuk kegiatan kelas.

Contoh 9:
Di tahun 1977 Moria Lewis berumur 8 tahun. Dia tinggal di kota Ann Arbor di Amerika Serikat tepatnya di Green Road, sebuah wilayah dimana disana terdapat masyarakat yang kaya dan miskin. Dia bersekolah di sekolah lokal, SD Marthin Luther King, itu adalah sebuah skolah yang didominasi oleh anak-anak berkulit putih, tetapi disana juga ada anak-anak keturuanan Afrika-Amerika atau Afro-America seperti Moira dan beberapa dari Asia dan juga Latin. Diwaktu Moria berumur 8 tahun, ibu Moira meyakini bahwa anaknya tidak berbuat maksimal di sekolahnya. Dia berbicara kepada temannya sesama keturunan Afrika-Amerika, dari pihak sekolah memberi label yaitu sebagai ”ketidak mampuan belajar”. Tetapi ibu Moira dan teman-temannya mengetahui lebih baik dari ppihak sekolah. Anak-anak mereka sangatlah sehat, anak-anak yang cemerlang. Hanyalah sekolah yang menggagalkan, dan bukan anak-anaknya. Sang ibu pun mengambil keputusan untuk membawa permasalahan ini ke pengadilan, menuntut bahwa para guru dirasa kurang mampu dalam memberikan pendidikan untuk anak-anak mereka. Para ibu memenangkan kasus mereka, dan pihak sekolah diminta untuk menyediakan sebuah program untuk Moira dan teman-temannya dimana telah diberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan kesuksesan edukasional.

Dalam contoh diatas, ibu-ibu keturunan Afrika-Amerika berpendapat bahwa sekolah lokal tidak memperhitungkan keahlian linguistik dan kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Beberapa ahli sosiolinguistik yang disebut sebagai ”saksi ahli” untuk memberikan kesaksian bahwa bahasa Inggris orang hitam yang digunakan anak-anak adalah sebuah dialek khusus yang berasal dari standar bahasa Inggris Amerika, dengan sebuah sejarah khusus dan asal-usul dalam sebuah Creole yang dikembangkan pada masa perbudakan perkebunan Amerika. Hakim menerima testimoni mereka dan memperintahkan pihak sekolah untuk memperhitungkan fitur-fitur dari dialek yang dimiliki anak-anak. Dia menunjuk bahwa guru dan murid harus saling mengerti satu sama lain, dan mengekspresikan pola pikir mereka bahwa halangan utama terhadap perkembangan anak diambil dari bentuk sikap negatif yang tidak disengaja oleh guru terhadap anak-anak yang berkomunikasi dengan bahasa Inggris orang hitam. Langkah-langkah yang sudah diambil untuk meredakan situasi yang paling utama adalah mealith guru secara intensif. Hal ini termasuk, contohnya, membantu mereka membedakan antar fitur-fitur dari dialek anak-anak dan membaca kesalahan-kesalahan, dan menyarankan kepada mereka bagaimana cara mereka membantu anak-anak untuk mengembangkan kemampuan mengalihkan dari bahasa Inggris orang kulit hitam dengan standar bahasa Inggris Amerika.
Perbedaan-perbedaan dialek tentu saja dapat membawa ke kesalah pahaman, khususnya jika pengguna dialek vernakular belum pernah mengerti kegunaan dari dialek standar. Dalam kebanyakan komunitas berbahasa Inggris, bagaimanapun, seperti di Ann Arbor, ada sedikit bukti bahwa anak-anak yang menggunakan b ntuk vernakular mempunyai masalah dalam memahami bahasa Inggris standar yang mereka dengar dari televisi, radio, dan dari guru mereka. Kenyataannya, sosiolinguis telah mendemonstrasikan bahwa dalam beberapa komunitas, paling tidak, anak-anak sangat mengerti mengenai dialek standar, semenjak mereka ditanyai untuk mengulang kembali kalimat-kalimat dengan menggunakan bahasa standar mereka sering sekali menginterpretasikan dengan akurat kedalam ekuivalen vernakular, sebagaimana pasangan dari kalimat yang terdapat pada contoh 10. Kalimat (b) pengulangan kembali dari sang anakdari kalimat (a).

Example 10
(a1) Nobody ever sat at any of those desks.
(b1) Nobody never sat at no desses.

(a2) I asked Alvin if he knows how to play basketball.
(b2) I aks Alvin do he know how to play basketball.

Penterjemahan mengisyaratkan pemahaman, jika, sebagaimana diutarakan oleh contoh-contoh, pemahaman biasanya bukanlah sebuah halangan utama, pertanyaan selanjutnya adalah apakah segalanya harus diselesaikan untuk mengubah ujaran dari anak-anak yang menggunakan bentuk vernacular.
Para ahli sosiolinguistik telah menunjuk bahwa percobaan mengenai merubah ujaran masyarakat tanpa kerjasama yang bagus dari mereka adalah sia-sia. Masyarkat mampu merubah ujaran mereka sendiri jika mereka benar-benar menginginkannya, tetapi guru dan orang tua akan membuang-buang waktu mereka untuk memperbaikinya jika anak-anak tidak mau terdengar berbeda. Telah diperhatikan bahwa ketika anak-anak menirukan gurunya hanyalah untuk bersenang-senang, atau ketika mereka bermain peran di dalam permainan yang merupakan kegiatan sekolah, mereka sering sekali menghasilkan bentuk standar dengan konsisten untuk selama yang dibutuhkan. Motivasi dan pilihan bebas adalah faktor penting, dan percobaan lainnya untuk mengajar bentuk dialek standar tidak akan sukses tanpa mereka.
Jika, walau bagaimanapun, anak-anak dapat melihat suatu poin dalam menguasai bentuk standar secara konsisten di konteks khusus, seperti wawancara pekerjaan, maka, dengan informasi yang disediakan oleh sosiolinguis, guru mampu menyediakan murid dengan bimbingan dimana bentuk vernakular adalah hal yang mencolok untuk pendengar. Banyak sosiolinguis percaya, bagaimanapun, bahwa kewajiban utama mereka adalah untuk mengedukasi komunitas untuk menerima variasi dan bentuk vernacular, tanpa mengutuk atau memandang penggunanya untuk mengadopsi bentuk ujaran standar. Hal ini merupakan are yang masih dikerjakan dan diperdebatkan dalam pendidikan linguistik.

KEKURANGAN LINGUISTIK
Sebuah area dimana penelitian sosiolinguistik telah membuktikan kegunaannya adalah area dari percobaan pendidikan. Sosiolinguis telah mendemonstrasikan bahwa pernyataan mengenai anak-anak dari kelompok minoritas dan anak-anak dari kelompok kelas pekerja memiliki kekurangan dalam segi linguistik yang pada umumnya dilandasi oleh kurangnya tes atau ujian. Kontribusi yang utama dari sosiolinguis di wilayah ini adalah untuk menghasilkan bukti mengenai efek dari faktor-faktor kontekstual dalam tuturan.
Sebuah contoh yang akan disajikan akan mengilustrasikan pokok bahasan ini. Dalam rangka untuk memperluas perbendaharaan dan tata bahasa mereka, adalah hal biasa bertanya kepada anak-anak untuk menyelesaikan sejumlah tes atau ujian bahasa. Di waktu yang sama, ujian-ujian ini sering sekali diadministrasikan oleh seorang dewasa, asing dan berasal dari latar belakang sosial yang berbeda dari sang anak, dan terkadang berasal dari sebuah kelompok etnik yang berbeda pula. Sebagai aturan, setiap anak diwawancarai secara individu di dalam ruangan yang tenang di sekolah. Anak-anak yang berasal dari latar belakang kelompok minoritas dan kelas pekerja yang diuji dengan kondisi-kondisi ini umumnya tidak berjalan dengan baik. Mereka meresponnya dengan biasa-biasa saja, berkata sesedikit mungkin, dan setelah itu keluar dengan perasaan lega ketika semua proses berakhir. Anak-anak dari kelas menengah adalah sebaliknya, mereka cenderung untuk melakukannya lebih baik. Mereka lebih berniat untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban yang panjang.
Para ahli sosiolinguistik menunjukkan bahwa walaupun hal-hal tersebut mengadministrasikan mereka ataupun mereka mengadministrasikan tes-tes ini dengan kondisi yang ’standar’ dan ’terkontrol’, ada beberapa fakta beberapa perbedaan penting dengan pengalaman dari anak-anak kelas menengah dibandingkan dengan yang lainnya sedang dalam pengujian. Seorang dewasa yang asing menggunakan dialek standar akan terlihat seperti teman dari ibu atau ayahmu jika kamu berasal dari anak kelas menengah. Jika kamu bukan dari golongan tersebut, pengalamanmu akan orang dewasa yang menggunakan variasi standar adalah guru, pekerja sosial, dan anggota pemerintahan – bukan tipe orang dimana seorang anak kecil ingin berbicara untuk jangka waktu yang lama jika mereka bisa menhindarinya.

Contoh 11:
Michelle pulang sehabis sekolah setelah ujian sejarahnya.
”bagaimana kamu mengerjakannya?” tanya ibunya. ”apa yang mereka tanyakan padamu?”
”aku harus menulis tentang Captain Cook”, Michelle membalas.
“apa yang kamu katakan?” Tanya ibunya.
Jadi Michelle menceritakan kepada ibunya tentang semua cerita menarik mengenai petualangan Captain Cook yang dijawabnya pada saat ujian.
Akhirnya, ibunya menginterupsi, ”tapi tidakkah kamu memberitahu bahwa dia adalah salah satu dari orang Eropa yang menjelajah New Zealand?”
”oh tidak” dia menjawab ”aku pikir mereka tahu tentang itu!”.

Jenis dari pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara juga sepertinya lebih familiar untuk anak-anak kelas menengah. Para orang tua kelas menengah sepertinya akan menginstruksikan anak-anak untuk ’memperlihatkan apa yang diketahuinya’. Contohnya adalah ketika nenek berkunjung, Pauline kecil diberi instruksi, ”katakan kepada nenek apa yang kamu lakukan di hari Minggu!.” Jenis dari instruksi ini juga dipakai di dalam ujian, contoh: ”katakan semua yang kamu ketahui tentang gambar ini”. Untuk anak-anak yang biasa mendapatkan pertanyaan ini – pertanyaan dimana kuisonernya sudah tentu mengetahui jawabannya – instruksi seperti itu bukanlah sebuah masalah. Anak-anak yang lainnya mungkin akan menemukan diri mereka bingung dan bertanya-tanya jika disitu terdapat maksud yang tersembunyi atau permainan. Dengan kata lain, kondisi dari ujian tidak sama untuk semua anak-anak.
Sosiolinguis mampu memberikan bukti bahwa anak-anak yang memberi respon biasa-biasa saja dalam sebuah tes wawancara merupakan anak yang fasih dan komunikatif dalam konteks yang berbeda – contohnya dengan teman mereka. Salah seorang peneliti menunjukkan bahwa konstruksi evaluatif digunakan dalam story-telling oleh keturunan remaja Afrika-Amerika yang dia rekam bahwa ternyata lebih berkembang atau dewasa daripada yang digunakan oleh mereka yang berkulit putih. Dengan kata lain, kenyataan bahwa anak-anak ini mengalami kekurangan linguistik atau ’tidak mempunyai bahasa’ atau terbatas dengan ’kode khusus’ disangkal sepenuhnya. Formalitas dan ketidak familiaran mengenai konteks ujian untuk anak-anak ini diperhitungkan sebagai kesalahan dalam penarikan kesimpulan bahwa mereka kehilangan linguistik.
Hal itu juga menunjukkan bahwa bahasa dari ujian lebih mirip untuk anak kelas menengah daripada anak yang berasal dari kelompok sosial lainnya. Ketika merespon ujian pertanyaan-pertanyaan dianalisa, ditemukan bahwa terkadang jawaban yang betul tetapi dengan menggunakan bentuk vernakular dianggap sebagai jawaban salah, karena mereka tidak benar-benar cocok dengan bentuk dari jawaban di daftar jawban. Sekali lagi, bukti dari para ahli sosiolinguistik adalah berharga untuk mendemonstrasikan bahwa bahasa anak sistematis secara linguistik dan terstruktur dan bukan tidak mencukupi atau kurang baik.

Contoh 12
Alan berumur 15 tahun yang sedang benar-benar dibenci oleh guru bahasa Inggrisnya. ’dia tidak tertarik dengan ide kita’, ucapnya ’atau meskipun kita asli atau kreatif. Hal yang paling dia urusi hanyalah kata! Anak laki-laki yang mendapatkan nilai tertinggi menggunakan sebuah kamus. Dia hanya melihat kamus dan memilih kata yang terpanjang dan menempelkannya. Bahkan dia tidak tahu apa yang dimaksud.

Pada tingkatan yang kedua sosiolinguis telah mengekslporasi lebih secara spesifik mengenai cara dimana jangkauan perbendaharaan kata dari anak kelas menengah dibedakan dari mereka yang berasal dai kelas pekerja. Melalui bacaan dari jenis-jenis buku yang disetujui oleh guru, dan memberi informasi kepada perbendaharaan kata dari orang dewasa yang terpelajar, beberapa anak lebih familiar daripada yang lainnya dengan kata dari Graeco-Latin Origin. Kata-kata tersebut - seperti education, exponent, relation atau expression – berhasil diantara 65 dan 100 persen dari ahli perbendaharaan kata yang dipelajari di sekolah menengah dan institusi tingkat ketiga. Tentu saja anak yang familiar dengan kata-kata tersebut akan berada dalam posisi diuntungkan. Suatu penelitian menunjukkan bahwa diantara umur dua belas dan lima belas perbedaan yang hebat dikembangkan dalam penggunaan oral dengan kata-kata tersebut oleh anak yang berasal dari latar belakang sosial yang berbeda.
Anak yang menggunakan kata-kata dari Graeco-Latin origin dengan keterkenalannya dan keyakinan akan terlihat lebih sukses dalam ujian yang membutuhkan pengetahuan mengenai perbendaharaan kata tersebut dalam area pelajaran tertentu. Anak yang berasal dari rumah dimana orang dewasanya membaca tidak untuk hiburan, dan membaca adalah bukan kegiatan normal sehari-hari, cenderung mengembangkan sebuah perbedaan jarak dari perbendaharaan kata – satu dimana nilai yang hebat dari banyak lingkaran mengenai kehidupan sehari-hari mereka, tetapi memiliki sedikit relefansi dalam pemahaman mengenai materi yang mereka temui di buku teks sekolah tingkat menengah.
Satu alasan mengapa anak yang berasal dari kelas perkerja gagal di sekolah, adalah bahwa keganjilan yang menumpuk melawan mereka. Kriteria untuk sukses adalah kriteria kelas menengah – termasuk bahasa kelas menengah dan cara mereka berinteraksi. Kefamiliaran dengan perbendaharaan kata berperan penting terhadap kesuksesan di sekolah adalah belum sebuah contoh dari keuntungan kelas menengah. Alasan kedua yang diidentifikasikan oleh sosiolinguis adalah bahwa banyak dari anak-anak mengenali sekolah adalah institusi kelas menengah. Salah satu potongan yang sangat dramatis bukti dari hal ini adalah disajikan oleh sebuah penelitian dari geng remaja laki-laki di New York. Para anggota geng adalah anak-anak yang gagal di sekolah, belum banyak dari mereka memili kemampuan yang bagus secara verbal. Untuk menjaga posisi sebagai pemimpin kelompok di Harlem wilayah dari New York, membutuhkan kecerdasan dan pertimbangan fasilitas verbal. Mereka bisa menukar hinaan dengan kesenangan dan meresponnya dengan cepat. Ada sedikit keraguan tentang kemampuan bahasa mereka. Masih saja belum dari anak-anak muda ini tertinggal 3 tahun atau lebih dalam tingkatan membaca mereka, dan tidak ada dari mereka mendapatkan nilai diatas normal dari anak-anak umur 11an. Ada apa lagi, semakin tinggi status mereka di geng, semakin kecil nilai mereka. Alasannya cukup rumit, tetapi yang paling penting dan mendasar adalah bahwa mereka tidak saling berbagi tentang ide-ide sekolah dimana yang seharusnya patut untuk diketahui. Mereka tidak mengidentifikasi menggunakan pola pikir sekolah, dan mereka mengetahui bahwa sekolah tidak menghiraukan kemampuan dan nilai mereka. Mereka merasa bahwa mereka telah dianggap sebagai orang luar sejak awal, dan tidak melihat adanya kenyamanan semenjak mereka tidak punya kesempaan untuk menjadi berhasil.
Perbedaan struktural diantara variasi standar dan vernakular dapat membawa ke arah ketidak akuratan taksiran mengenai potensi anak didik. Perbedaan-perbedaan diantara kelompok dalam persepsi mereka mengenai cara yang tepat untuk berbicara mengenai konteks variasi dapat juga membawa ke arah evaluasi yang tidak akurat tentang kemampuan anak.

KESIMPULAN
Bab ini telah mendeskripsikan tentang jangkauan dari sikap atau perilaku terhadap bahasa dan terhadap variasi bahasa, sebagaimana beberapa dari implikasi sosial dan edukasional seperti sikap. Variasi linguistik dari kelompok yang berbeda dan aturan sosiolinguistik mereka, atau cara yang tepat untuk berbicara dalam konteks yang berbeda, bisa menjadi cukup berbeda. Informasi sosiolinguistik pada basis sosial dari sikap atau perilaku terhadap variasi-variasi ini dan kegunaan mereka membantu menjelaskan mengapa anak yang berasal dari kelompok kelas sosial bawah dan anak yang berasal dari latar belakang kelompok minoritas sering tidak sukses di sekolah. Penelitian sosiolinguistik dapat membangtu dalam mengidentifikasi fokus-fokus konflik yang potensial, dan menyarankan gaya alternatif dari interaksi yang mungkin akan sukses.
Ada celah dari bab ini untuk mengeksplorasi dalam jangkauan yang kecil dari contoh, secara spesifik di dalam bidang linguistik pendidikan, dimana implikasi dan aplikasi dari studi sosiolinguistik dapat menguntungkan. Bercermin dari variasi sosiolinguistik yang dideskripsikan di bab sebelumnya anda akan mampu untuk berpikir akan adanya lebih banyak lagi implikasi dan aplikasi dari penelitian sosiolinguistik. Perencanaan bahasa, contohnya, adalah jelas sebagai area pengaplikasian sosiolinguistik. Pembelajaran bahasa kedua adalah area lainnya dimana informasi sosiolinguistik dalam pola penggunaan bahasa dan sikap terhadap bahasa telah dibuktikan sebagai hal yang bernilai. Informasi sosiolinguistik dapat secara berguna menjelaskan banyak dari interaksi sehari-hari dalam sebuah komunitas ujar.