Minggu, 28 Juni 2009

Marxisme

Marxisme Menurt Karl Marx dan Frederich Engels

Tokoh pertama dan namanya diabadikan sebagai suatu aliran marxis adalah Karl Marx dan temannya Frederich Engels. Mereka berasal dari Jerman dengan bukunya (dokumen) manifesto Komunis yang berisi sejarah sosial manusia yang tak lain adalah sejarah perjuangan kelas.


Untuk memahami pandangan Karl Marx dan Frederich Engels tentang sastra sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui pemikirannya tentang kelas ekonomi. Menurut Marx (dalam saraswati, 2003: 38) susunan masyarakat dalam bidang ekonomi yang dinamakan bangunan bawah menentukan kehidupan sosial, politik, intelektual dan kultural bangunan atas. Sejarah dipandangnya sebagai suatu perkembangan terus menerus, daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif merekah dan ini semuanya menuju masyarakat yang ideal tanpa kelas. Evolusi tersebut tidak berjalan dengan halus, tetapi secara tersendat-sendat. Hubungan-hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas yang saling bermusuhan, ini mengakibatkan pertentangan kelas yang akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan yang baru seterusnya menimbulkan suatu kelas baru yang melawan kelas yang sedang berkuasa dan dengan demikian tercapailah suatu tahap baru dalam pertentangan kelas. Dalam teori ekonominya Marx terutama menerangkan, bagaimana pertentangan antara kelas borjuis dan proletar yang jaya akan melaksanakan masyarakat tanpa kelas. Perubahan dalam bangunan bawah mengakibatkan perubahan dalam bangunan atas. Bagi Marx, sastra sama dengan gejala-gejala kebudayaan lainnya mencerminkan hubungan ekonomi, sebuah karya sastra hanya dapat dimengerti kalau itu dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut.

Perhatian Marx terhadap sastra dapat dilihat dari surat-surat serta karangan-karangannya yang tampak betapa Marx menghargai sebuah lukisan mengenai kenyataan masyarakat didalam sastra yang sesuai dengan contohnya, namun ia juga tidak buta terhadap nilai-nilai sastra. Ia menolak pandangan deterministik yang sempit, seolah-olah perubahan dalam bangunan atas langsung diakibatkan oleh perubahan dalam bangunan bawah. Hubungan antara produksi ekonomi di satu pihak dan produksi artstik di lain pihak, tidak seimbang. Shakespeare misalnya menulis pada suatu zaman, ketika tata sosial-ekonomi masih kkurang berkembang.

Pendapat Marx tentang sastra yang masih abstrak di atas diuraikan lebih lanjut oleh Engels. Menurut Engels sastra adalah cerminan pemantul proses sosial. Dengan konsep-konsep bahwa: (1) tendensi politik penulis haruslah disajikan secara tersirat saja. ”Semakin tersembunyi pandangan si penulis, semakin mutulah karya yang ditulisnya.” Ideologi politik bukanlah merupakan masalah utama bagi si seniman, dan karya sastranya akan menjadi lebih baik apabila ia berhasil membuat ideologi itu tetap tersembunyi. Engels mengatakan bahwa isi utama novel harus muncul secara wajar dari situasi dan peristiwa yang ada di dalamnya. (2) Pokok kedua dalam uraian Engels adalah lebih dogmatis. Ia menjelaskan bahwa setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representatif dalam karya-karyanya, sebab pengertian realisme meliputi reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula (Sapardi, 1979, 28).

Marxisme Menurut Lenin

Lenin merupakan orang yang berjasa dan dapat dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis. Ia menulis lebih banyak daripada Marx tentang masalah-masalah teoritis yang berkaitan dengan sastra dan mengembangkan suatu visi yang jelas tentang sastra. Ini terutama disebabkan karena ia berpendapat bahwa sastra merupakan suatu sarana penting dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme. Adapun pandangan Lenin terhadap sastra meliputi:

a. Sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat,

b. Sastra mencerminkan kenyataan sebagai ungkapan pertentangan kelas,

c. Sastra harus dapat membangun masyarakat,

d. Tiga syarat ikatan partai

e. Adanya suatu dialektika antara sastra dan kenyataan.


Pertama, sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat. Dari Marx, Lenin meminjam pandangan, bahwa sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat

Kedua, sastra mencerminkan kenyataan sebagai ungkapan pertentangan kelas. Bocaccio melawan kaum rohaniawan foedal dalam kumpulan ceritanya Decomerone yang menelanjangi kebejatan para rahib. Pada zamannya Anna Karerina akibat tragik sebuah pernikahan yang tidak bahagia.

Ketiga, sastra harus membangun masyarakat. Tetapi sastra tidak hanya mencerminkan kenyataan, sastra dapat dan harus turut membangun masyarakat; ini telah diuraikan dengan panjang lebar oleh kritisi sastra Rusia pada abad ke-19. Lenin terutama dipengaruhi oleh Tsjernysjevski (1828-1889) yang menempatkan sastra dibawah perubahan-perubahan yang harus terjadi di dalam masyarakat; sastra harus berperan sebagai guru, harus menjalankan fungsi didaktik. Sastra hendaknya tidak hanya membuka mata orang bagi kekurangan-kekurangan di dalam tata masyarakat, tetapi juga menunjukkan jalan keluar. Tsjernysjevski memaparkan ide-idenya mengenai sastra dalam sebuah novel yang cukup skematik dan moralistik.

Keempat, tiga syarat ikatan partai. Dalam sebuah karangan yang ditulisnya pada tahun 1905 Lenin memaparkan apa yang diharapkannya dari sastra. Tulisan itu berjudul ”Oranisasi partai dan Sastra Partai”. Dalam karangan tersebut Lenin tidak secara eksplisit membahas sastra, melainkan terutama meneropong tulisan jurnalisti dan publistik. Dalam karangan itu Lenin mengutarakan pengertian menganai ”ikatan partai” yang menetapkan tiga syarat bagi sastra: 1) sastra harus mempunyai suatu fungsional; 2) sastra harus mengabdi kepada rakyat banyak; 3) sastra harus merupakan suatu bagian dalam kegiatan partai komunis.

Kelima, hubungan dialektik antara sastra dan kenyataan. Pada tahun 1934 diletakdan dasar bagi realisme sosialis yang sampai sekarang ini melandasi pandangan resmi mengenai kesenian di Uni Soviet. Aliran realisme sosialis, sesuai dengan pandangan Lenin, mengandaikan adanya suatu hubungan dialektik antara sastra dan kenyataan. Dari satu pihak menyatakan tercermin dalam sastra sehingga sastra dianggap menyajikan suatu tafsiran yang tepat mengenai hubungan-hubungan di dalam masyarakat (realisme), di lain pihak sastra juga mempengaruhi kenyataan sehingga mempunyai tugas mendampingi partai komunis dalam perjuangannya membangun masyarakat baru yang lebih baik (sosialistik). Realisme sosialis menuntut dari para pengarang agar melukiskan kenyataan dalam perkembangan revolusionernya, selaras dengan kebenaran dan fakta sejarah. Selain itu pelukisan yang bersifat artistik itu hendaknya digabungkan dengan tugas mendidik kaum buruh sesuai dengan masyarakat komunis. Dengan demikian sastra dibebani dua tugas yang berdeda-beda sastra hendaknya melukiskan kenyataan selaras dengan kebenaran, tetapi sekaligus kenyataan itu ingin diubahnya.

Prinsip-prinsip realisme sosialis dapat dilacak kembali pada teori marxis mengenai proses perkembangan sejarah, lagi pula pada pandangan Lenin bahwa partai harus memainkan peranan sebagai pemimpin dalam proses tersebut. Pengarang-pengarang pun harus tunduk kepada pimpinan partai. Dalam pandangan Lenin ini tidak menimbulkan kesukaran, karena seorang pengarang baru bebas sesungguh-sungguhnya bila ia melepaskan diri dari individualisme borjuis dan mengabdikan diri pada perjuangan komunis. Atau seperti dirumuskan pada kongres kedua Himpunan Pengarang, tahun 1954: ”Sebagai semboyan borjuis yang palsu dan munafik seolah-olah sastra itu lepas dari masyarakat dan bahwa seni harus diciptakan demi seni itu sendiri, maka para pengarang kita dengan bangga mengutarakan pendirian ideologis mereka yang mulia, yaitu bahwa seni harus mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak.”

Penentuan sikap ini langsung mengakibatkan sistem sensor. Dalam pandangan partai itu dapat dimengerti – siapa yang tidak mau memberi sumbangan bagi pembangunan negara yang ideal adalah tidak berguna (ingat Plato), tetapi bagi para pengarang dan sastra sendiri dalil tersebut mengakibatkan mala petaka. Kematian atau pengucialan adalah harga yang harus dibayar oleh banyak pengarang, dan para kritisi resmipun sepakat, bahwa sastra soviet tidak atau belum mencapai taraf sastra Rusia pada abad ke sembilan belas.

Marxisme Menurut Lukacs

Lukacs merupakan orang yang berjasa menyebarkan ajaran Marx di Rusia. Dia merupakan pimpinan sebuah partai di Rusia. Lewat Lukacslah rusia mengenal aliran Marx ini. Menurut Lukacs kenyataan mempunyai berbagai tahap. Kulit luar secara langsung dapat diamati, tetapi dapat juga unsur-unsur dan kecenderungan-kecenderungan dalam kenyataan yang terus menerus berubah, tetapi yang secara teratur, menurut suatu hukum tertentu, selalu kembali. Pemikiran Lukacs mencakup: a. tugas kesenian menampilkan kenyataan, dan b. sastra menampilkan yang khas dan universal.

Pertama, tugas kesenian ialah menampilkan kenyataan dalam keseluruhannya. Seni yang sejati tidak merekam kenyataan bagaikan sebuah tustel foto, tetapi melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Yang merupakan aspek paling penting di dalam kenyataan ialah masalah kemajuan manusia. Seorang pengarang besar yang melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya, tidak dapat mengabaikan masalah tersebut dan harus mengambil sikap terhadap masalah itu, ia harus melibatkan diri. ”seorang pengarang yang tidak merasa antusias terhadap kemajuan yang tidak membenci reaksi, yang tidak mencintai kebaikan dan yang tidak menolak kejahatan, tidak dapat membedakan dengan tepat berbagai unsur itu, khusus kalau ini dilihat dalam keseluruhan perkembangan masyarakat.”

Kedua, sastra menampilkan yang khas dan universal. Pandangan Lukacs terhadap sastra yang menampilkan yang khas dan universal mirip dengan pandangan Aristoteles. Dengan melukiskan yang khusus diperlihatkan yang hakikat sehingga sastra menciptakan tokoh-tokoh, situasi-situasi dan peristiwa yang khas (tipikal) karena menampilkan kenyataan sosial dalam keseluruhannya. Berdasarkan hubungan antara yang khusus dan yang umum, maka Lukacs lebih menyukai pengarang-pengarang realis abad ke-19 (Balzac, Tolstoy) dan menolak pengarang-pengarang naturalis, karena menurut Lukacs kaum naturalis hanya melukiskan kulit kenyataan secara dangkal. Ini juga berlaku bagi para pengarang avant grade (gugus depan kafka dan para surealis) karena mereka demikian terikat pada teknik kepengarangan, sehingga tidak menyentuh hakikat kenyataan dan hanya berkisar pada kulit gejala-gejala.

2.4. Marxisme Menurut Bertlot Brecht

Polemik yang paling menarik adalah yang terjadi antara Lukacs dan pengarang drama Jerman, Bertlot Brecht. Seperti Lukacs, maka Brecht pun berpendapat bahwa seorang pengarang tidak dapat bersikap netral, ia harus memperjuangkan kepentingan kaum buruh. Tetapi menurut Brecht, pada abad ke-20 ini tidak dapat diperjuangkan dengan berkiblat pada realisme abad ke-19. Keadaan masyarakat telah berubah secara mendalam dan menuntut bentuk-bentuk kesenian lain yang serasi dengan perkembangan masyarakat. Selaku seorang seniman yang aktif Brecht tidak begitu dogmatik seperti Lukacs yang berteori saja. Brecht bahkan mempertanyakan pendapat Lukacs bahwa seni harus mencerminkan kenyataan. Menurut Brecht seni harus bertujuan mengubah masyarakat. Dalam karya-karya pentasnya Brecht melawan teater tradisional yang hanya menyajikan sebuah ilusi yang melapisi kenyataan dengan gula manis. Karya Brecht bercirikan ”efek pengasingan”, memperlihatkan pertentangan-pertentangan yang menyangkut masalah-masalah pokok. Tamatnya sering terbuka, artinya penonton sendiri yang dipersilahkan memilih pemecahan. Para pelaku sengaja memperlihatkan, bahwa mereka hanya main sandiwara saja, sehingga identifikasi dipersukar, baik penonton maupun pelaku tidak demikian saja mempersatukan pelaku dengan perannya. Teks pentas diselingi film dengan nyanyian, sehingga para penonton dirangsang untuk merenungkan secara aktif dan kritis situasi masyarakt.

Marxisme Menurut Zima

Zima merupakan tokoh selanjutnya yang berkecimpung di bidang sastra. Menurut peneliti sastra Zima yang berasal dari Ceko tetapi tinggal di negeri Belanda, dalam sosiologi sastra para ahli terlalu cepat mengandaikan adanya suatu analogi atau kemiripan antara teks fiksi dan keyataan. Ia bersedia menerima adanya suatu hubungan, tetapi kalau hanya teks maupun konteks sosial dilukiskan sebagai struktur-struktur.

Yang menarik adalah Zima berpendapat bahwa teks sastra tidak mencerminkan kenyataan. Dalam kenyataan kita tidak berjumpa dengan tokoh-tokoh yang mau dipenggal kepalanya hanya karena sikap acuh tak acuhnya. Di sini teks merupakan suatu reaksi terhadap konteks sosial. Reaksi tersebut diwujudkan dalam struktur karya sastra dan menurut arti tersebut sebuah teks selalu bersifat ironi, parodi atau imitasi.

Dalam kritik sastra Marxis yang dibicarakn diatas segi yang dipentingkan ialah implikasi sosial dan kemasyarakatan yang terkandung di dalam karya seorang pengarang. Kritik sastra Marxis menafsirkan sastra sebagai suatu gambar mengenai kenyataan sosial atau sebagai sesuatu yang menjadikan pembaca sadar mengenai kenyataan masyarakat atau kekurangannya. Sejauh sastra berhasil mencapai sasaran tersebut ditentukan pula penilaian positif yang kita buat mengenai sastra.

Padangan umum yang berlaku tentang hubungan antara sastra da marxisme adalah beberapa negara komunis, seperti misalnya Rusia dan Cina, pemerintah mengharuskan pengarangnya untuk menuruti garis partai sehingga negara-negara tersebut tidak pernah lahir karya-karya besar. Seperti diketahui, di masing-masing negara itu hanya ada satu partai, dan partailah yang menentukan segala-galanya. Sastra yang melenceng dari garis partai dianggap tidak sesuai untuk masyarakat, dan oleh sebab itu harus disingkirkan.

George Plekanov

Menurut Plekanov seni adalah cermin kehidupan sosial dan ada insting estetik yang sama sekali non sosial dan tidak terikat pada kelas sosial tertentu. Semua seni dan sastra terikat pada kelas. Seni dan sastra yang agung tidak dapat muncul dari masyarakat yang dikuasai oleh pandangan borjuis.


Pertengahan abad ke sembilan belas pengarang yang besar adalah pengarang yang paling dekat dengan masyarakat dan evolusinya yang agungkan kebutuhan zamannya, mengekspresikan semangatnya yang mewakili orang sesamanya. Leo Tolstoy: Doktrin seni untuk seni harus dihancurkan; seni harus merupakan monitor dan propaganda proses sosial. Lenin: sastra harus menjadi sebagian dari perjuangan kaum proletar: sastra harus menjadi sekrup kecil dalam mekanisme sosial demokratis.

Jumat, 19 Juni 2009

Ngetes,,,,

Akhirnya bikin Blog juga

gimana yah caranya supaya blog ini bisa tampil di google?